Bab 7 || Patah dan Kecewa

18 1 2
                                    

Selamat malam semua!😊😊
Sebelum besok Senin dan sibuk dengan segala aktivitasnya, baca Mei Itu Biru dulu, ya! 😇 Selamat membaca!

💝💝💝

Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Menanti yang tak pasti itu juga tak berarti. Namun, keyakinan yang tumbuh mengalahkan semuanya. Naina rela menunggu, juga menanti. Meski akhirnya, ia harus kecewa lagi. Meski, ia harus menerika kenyataan yang tak sesuai harapannya. Lalu, hatinya patah lagi. Berkali-kali.

Ah, hati, selalu begitu. Terbelenggu dengan hal yang tak tentu.

Naina termenung di kamar kafenya. Ada banyak tanya yang memenuhi pikiran. Kenapa Arzio tidak menemuinya? Di mana dia? Ada apa dengannya? Kenapa tidak menepati janji? Terjadi sesuatu? Atau dia hanya mempermainkan dan membuat Naina berharap saja? Oh, ayolah, Naina butuh jawaban.

Namun, tentu tak ada yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Malah, yang ada hanya dugaan-dugaan yang semakin mengganggu pikirannya. Senyum miris tersimpul di sudut bibirnya, melengkapi kebodohannya sore tadi. Menunggu lelaki di masa lalu hingga senja hilang ditelan kegelapan. Benar-benar bodoh!

"Arzi," desisnya.

Ia kesal. Marah. Kecewa. Namun, ia bisa apa? Harus bagaimana ketika lelaki itu bahkan tak bisa dihubungi. Naina ingin jawaban, atau sekadar penjelasan kenapa lelaki itu tak menemuinya senja tadi. Naina harus mencari tahu lewat mana?

"Aku cemas karena kamu nggak datang. Apa kamu baik-baik aja?" Naina bermonolog dalam kesendiriannya. Tak henti ia menatap gelang bintang yang melingkar di pergelangan tangannya itu. Tak mau beralih meski sekejap.

"Aku nggak tenang kalau kayak gini!" Naina berdecak sebal. Satu hal lagi yang menyebalkan selain menunggu, yaitu mengkhawatirkan seseorang. Cemas, resah, takut; berpadu jadi satu. Ditaburi juga dengan kesal, kecewa dan ingin memaki.

Perempuan yang mengenakan abaya rumahan itu merebahkan tubuhnya. Sekejap ke kiri, sekejap ke kanan; matanya tak mau terpejam. Lantas telentang dan menatap langit-langit kamar; lebih tepatnya merenung. Mengingat-ingat apa pun tentang Arzio yang bisa membuatnya tenang. Entah itu senyumnya, geriknya, kata-katanya, atau apa pun itu. Hingga lelah datang dan membuatnya terlelap.

💝💝💝

Esoknya, Naina pikir semua akan lebih baik, termasuk hatinya. Namun, keresahan itu tetap ada, malah kian meraja. Ketika Karin membawakannya sepotong waffle untuk sarapan, Naina tak menyentuhnya sama sekali. Hanya termenung di hadapan waffle yang meminta dimakan. Waffle yang kasihan!

"Assalamualaikum!" Suara cempreng itu menginterupsi Naina. Naina menjawab salam seadanya.

"Kenapa nih, Ibu bos? Kok diam aja," celetuk Rivia.

Naina hanya menggeleng sebagai jawaban, memainkan garpu di atas waffle. Membuat Rivia bertanya-tanya, ada apa gerangan.

"Na, kenapa?" Rivia bertanya.

"Lagi suntuk aja," jawab Naina datar.

"Beneran?" Rivia mencoba memastikan. Ia tahu pasti ada apa-apa, terlihat dari raut wajah Naina yang tak tenang. Namun, ia juga tak bisa memaksa perempuan itu untuk bercerita jika tak mau.

"Lagi butuh berpikir aja, nggak apa-apa, kok."

Naina menyimpul senyum tipis, menandakan ia akan baik-baik saja. Rivia biarkan, karena ia tahu bahwa Naina bisa mengatasinya. Jika pun tidak, Naina pasti bercerita padanya.

Mei Itu BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang