Bab 8 || Rindu dan Luka

17 1 0
                                    

Ada yang kangen Naina? Atau mungkin Arzio? Atau mungkin author? 😆 Selamat membaca! 😊

💝💝💝

Ya, Arzio tahu, semua telah digariskan. Namun, ia hanya manusia biasa yang bisa merasakan kesedihan dan kehilangan. Meski ia laki-laki, bukan berarti ia tak bisa sedih dan menangis. Laki-laki juga punya hati dan perasa, meski tak sesensitif wanita.

Haaah ....

Arzio mengembuskan napas panjang, sesekali menggerakkan anggota tubuhnya yang terasa pegal. Menghabiskan waktu di luar kota untuk mengurus bisnis mebel sang ayah.

Lelah? Tentu. Karena ia bukan hanya mengecek, tapi meneliti keseluruhan. Dari pemilihan pohon dan kayu di hutan, hingga proses lainnya hingga selesai. Mau tak mau, Arzio harus melakukannya. Meski ia harus meninggalkan Aini yang masih bersedih, tapi ini juga permintaan Aini yang tak bisa ditolak. Aini yang meminta Arzio pergi ke sini dan mengurusi semuanya.

Ah, Ibu ....

Diraihnya ponsel yang tergeletak di meja, lalu mencari kontak ibunya.

"Assalamualaikum, Ibu!" sapanya dengan lembut.

"Waalaikumussalam, A! Aa sehat?" Suara Aini menyahut di seberang sana.

"Sehat, Bu. Ibu gimana?" tanya Arzio.

"Ibu juga sehat."

"Benar?" tanyanya lagi. Kali ini memastikan.

Tak ada jawaban.

"Bu, Aa nggak mau Ibu sedih terus," tutur Arzio.

"Kamu jangan khawatirin Ibu, fokus aja sama kerjanya. Ibu sehat, kok. Aa udah makan? Jangan sampai lupa makan, A."

"Iya, Bu. Kan ada Om Ardi juga di sini," balas Arzio.

"Ya udah, Ibu tutup teleponnya, ya. Ada yang datang, mungkin Ica sudah pulang," tutur Aini.

Memang, selama Arzio menetap di Bandung, Ica yang menemani ibunya. Adik sepupunya itu, alias anak dari Om Ardi sejak kecil sudah dekat dengan Aini. Gadis berusia 22 tahun itu juga memutuskan untuk meneruskan S2 di universitas yang tak jauh dari rumah. Sekalian menemani Ibu, begitu katanya.

"Ibu baik-baik, ya."

"Iya. Assalamualaikum!" tutup Aini.

"Waalaikumussalam!"

Arzio mematikan layar ponsel dan meletakkannya di atas meja. Baru saja ia hendak pamit, Ardi—adik ayahnya menghampiri.

"Kamu sudah makan?" tanya Ardi.

"Belum, Om," jawabnya.

Ardi menggeleng-gelengkan kepala sembari berkacak pinggang. "Kamu ini, makan aja susah. Makin kurus loh, nanti. Enggak ada perempuan yang mau," celetuk Ardi yang membuat Arzio tertegun.

Naina ....

Bodoh! Kenapa bisa melupakan perempuan satu itu? Terlebih, ada janji temu yang ia ingkari begitu saja. Meski ada alasan penting, tapi kenapa tak mengabari? Arzio merutuki diri sendiri. Kembali ia meraih ponselnya dan mencari kontak Naina.

Mei Itu BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang