Bab 4 || Pernyataan

42 3 6
                                    

Haaaai! Apa kabar kalian? Terima kasih sudah membaca sejauh ini. ❤

💝💝💝

Naina baru saja selesai mencuci piring ketika Rere memanggilnya. Segera ia menghampiri. Seperempat jam lalu, keluarganya baru saja selesai sarapan bersama. Ramlan sudah berangkat kerja, begitu pula dengan April. Tersisa Rere yang sedari sibuk membuat bolu. Sedari pagi, sih. Jadinya udah selesai, deh.

"Na, bantu Mama dong!"

"Bantu apa, Ma?" Naina bertanya sembari melihat Rere yang tengah sibuk menata potongan bolu di piring.

"Antarin ini ke tetangga sebelah. Penghuni baru itu, loh," kata Rere.

Naina mengerutkan kening. "Tumben, Ma."

"Kamu ini, ya. Kita kan harus berbuat baik sesama tetangga." Rere menatap Naina sebentar, kemudian kembali asyik menata potongan bolu. "Apalagi anaknya kan cowok, ganteng lagi."

Naina langsung merespons. "Tuh kan, pasti ada udang di balik terigu."

"Ye, Mama kan ikhtiar," balas Rere.

"Ikhtiar apa?"

"Ikhtiar cari calon menantu."

"Mama, Mama." Naina berucap sambil menggelengkan kepalanya. Tak urung menerima piring dari Rere.

"Udah sana antar!" ujar Rere.

"Iya, iya."

Naina menenteng piring berisi bolu kukus ala mamanya. Tak memakan waktu lama—karena tepat bersebelahan, Naina sampai di depan pintu rumah tetangganya itu. Tak berapa lama setelah Naina mengetuk pintu, seorang wanita paruh baya—lebih tua dari mamanya, keluar.

"Assalamualaikum, Tante," sapa Naina dengan senyuman.

"Eh, waalaikumussalam! Masuk, Neng, masuk!"

Karena dipersilakan, mau tak mau Naina ikut masuk. Perempuan setengah baya itu menyuruhnya duduk, kemudian meninggalkan Naina sendirian di ruang tamu.

"Sebentar ya, Neng, Mami buatin minum dulu," katanya sebelum pergi.
Meski Naina menolak karena ia tak akan lama, wanita itu memaksa. Tak lama, wanita itu kembali dengan menenteng nampan berisi minuman.

"Diminum dulu, Neng. Dicicip juga kuenya," ujar wanita itu.

Naina tersenyum tipis. "Makasih, Tante. Naina cuma mau ngasih ini, dari Mama," katanya sembari menyodorkan bolu yang tadi dibawanya.

"Aduh, kok repot-repot, sih. Makasih loh, ya buat mamanya. Rumah yang di sebelah, 'kan?"

Naina mengangguk. "Iya, Tante."

Wanita itu mengibaskan tangannya. "Jangan panggil Tante, lah. Panggil Mami Lia aja."

"Iya, Tan—Mi," timpal Naina yang entah kenapa jadi salah tingkah sendiri.

Seorang lelaki yang tengah turun dari tangga, membuat Naina mengalihkan pandangan. Lelaki itu mengenakan kaus pendek dan sebuah kolor! Membuat Naina menahan tawanya dalam hati.

Mei Itu BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang