Bab 14 || Mencintai Kehilangan

18 0 0
                                    

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Kembali lagi bersama Naina dan kisahnya. Selamat membaca! 😊

✨✨✨

"Naina udah dilamar, A," tutur Ibu.

Arzio berdeham. "Aa tahu," katanya tanpa ekspresi.

"Kenapa nggak bilang sama Ibu?" tanya Ibu sembari menatap putranya yang kini tertunduk.

"Maaf, Bu," lirih Arzio.

Ibu membawa Arzio ke dalam pelukannya. Ia tahu, anaknya itu pasti terluka. Namun, ia juga tak bisa menyalahkan Naina. Jika Allah tak menghendaki putranya dengan Naina, ia bisa apa?

"Maafin Aa, Bu ...." Suara Arzio bergetar dan Ibu semakin erat memeluknya.

"Kamu nggak perlu minta maaf, A. Kamu putra kebanggaan Ibu, dan putra Ibu harus bahagia. Lepasin Naina, ya, A. Dia harus bahagia dengan pilihannya," tutur Ibu yang menenangkan lelaki yang masih asyik bergelung di pelukannya itu.

Tak lama, lelaki itu mengangkat kepalanya. Jemarinya mengelus pipi Ibu lembut, dibalut senyuman yang terbit di wajahnya. Tulus untuk Ibu.

"Izinin Aa untuk tetap mencintai Naina sekarang ini, Bu. Aa akan belajar untuk merelakan dia," katanya.

Ibu mengedipkan mata sebagai jawaban, menikmati rasa sayang dari putranya itu.

"Kamu belum makan, kan? Makan dulu, yuk!" ajak Ibu.

Arzio mengangguk disertai senyum hangatnya. Merangkul Ibu ke ruang makan dan membantu menyiapkan makanan. Hal ini yang harus ia syukuri, kasih sayang ibunya yang tak akan pernah pudar.

"Kapan berangkat ke Bandung, A?" tanya Ibu di sela-sela makan.

"Lusa, Bu," balas Arzio. Matanya menatap Ibu yang berhenti mengunyah. Wanita tua itu menghela napas berkali-kali.

"Aa usahain cepat-cepat, Bu. Habis itu Aa fokus terusin kerjaan Bapak," ujarnya kemudian.

"Aa nggak pa-pa?" tanya Ibu memastikan. Pasalnya, ia tahu anaknya itu tak minat di bidang mebeul.

"Selama ada Ibu, Aa baik-baik aja. Ibu nggak usah khawatir, ada Om Ardi juga yang bantuin Aa," katanya meyakinkan.

"Ya udah, siapin yang mau dibawa. Enggak lebih dari sebulan, kan?"

"Enggak, Bu. In syaa Allah."

✨✨✨

Bandung, katanya kota penuh kenangan, kota yang bisa membuat orang rindu. Entah itu orangnya, lingkungan dan suasananya, atau bahkan secarik kisah yang terjadi. Namun, bagi Arzio, Bandung adalah tempatnya menyepi. Bandung selalu menjadi tempat pelariannya, tempat menepi dari segala resah yang ada. Seperti halnya lima tahun lalu ketika ia memutuskan menetap dan bekerja di sana.

Bandung ramai, tapi hatinya sepi. Bandung indah, tapi hatinya muram. Bandung penuh pesona, tapi ia tak tertarik.

"Allah ...."

Hatinya sama sekali tak tenang. Tentu saja, orang yang diinginkannya kini tak dapat ia perjuangkan. Luka itu tentu kian menganga, bersama rindu yang tak pernah ada habisnya. Allah, inikah jalan-Mu?

Dering ponsel menyadarkannya dari lamunan. Arzio merogoh ponsel dari saku lalu menggeser layarnya.

"Assalamualaikum, Bang!" sapanya duluan.

"Waalaikumussalam! Kamu di mana, Zi?" tanya Shaka.

"Aku udah balik ke Bandung, Bang. Mau kelarin kerjaan yang di sini." Arzio meletakkan satu tangannya di bawah kepala, menyangga.

Mei Itu BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang