Bab 6 || Arzio Radean Mahesa

29 1 0
                                    

Selamat siang! 😊 Selamat membaca bagian ini!

💝💝💝

Baru saja Naina duduk di kursi kerjanya ketika sebuah ketukan pintu membuat perempuan itu bersuara, menyilakan orang di luar sana untuk masuk. Karin—orang yang mengetuk pintu tadi, menghampiri Naina dan menyodorkan setangkai bunga.

"Ada bunga buat Teteh. Dari siapa nih, Teh?" katanya sembari tersenyum. Pasalnya, baru kali ini ada kiriman untuk bosnya itu berupa bunga.

Naina mengerutkan kening. "Siapa yang ngasih, Rin?"

"Tukang pos yang ngasih, nggak bilang siapa yang ngirim. Aku kira Teteh tahu," timpal Karin.

Naina menggeleng. "Aku nggak tahu. Lagian, nggak ada kerjaan banget ngasih bunga lewat pos," tuturnya.

"Enggak ada kerjaan atau nggak romantis?" goda Karin, membuat bosnya itu mendelik sebal. Karin terkekeh. "Ya udah, deh, aku keluar dulu," ucap Karin lalu menghilang di balik pintu.

Naina memandangi mawar itu. Setangkai mawar putih yang sederhana, dibalut mika dan sebuah pita yang terikat. Ada kertas kecil di sana. Naina segera melepasnya dari ikatan pita.

Sebuah tulisan tangan yang ia kenali tertera di sana, menjadi sebuah pesan yang melambungkan hati Naina.

Aku menyayangimu, Naina Arsyabilla.
—Tuan Hujan

Sudut bibir itu tersimpul begitu saja, tanpa sadar. Mengembang tak henti, mengabaikan jalan yang ia pilih, untuk tak lagi berharap padanya. Naina hanya manusia biasa, yang terkadang lengah dan terlena. Meski ia terus memperbaiki diri, bukan berarti ia sudah benar-benar baik. Sekali lagi, Naina hanya manusia biasa.

Hatinya berharap lagi. Ya, seperti bertahun-tahun yang lalu ketika ia bersama lelaki itu. Menjalani hari dan melangkah bersama, meski tahu itu salah. Harusnya, tak ada hubungan semacam itu. Harusnya, tak pernah ada rasa yang diungkap. Bukan waktunya, bukan saatnya. Hingga Allah timpakan kecewa dengan sebuah perpisahan. Namun lagi-lagi, hatinya tak pandai berkhianat. Ia kembali berharap pada selain-Nya.

Ah, hati .... Terlalu lemah bila berurusan dengan cinta dan pengharapan. Tak berdaya jika sudah berhubungan dengannya. Hati, menguatkan juga menghancurkan pertahanan diri.

Dering ponsel menyadarkan Naina dari angannya. Senyum kian terkembang ketika nomor lelaki itu yang tertera di layar. Segera ia menggeser layarnya.

"Assalamualaikum!" Naina memulai kata.

"Waalaikumussalam. Na?" balas lelaki itu dari seberang sana.

"Iya?"

"Sore ini kamu ada waktu?" tanya Arzio.

"Jam berapa?"

"Senja, di taman dekat sekolah kita dulu. Bisa?" tawar lelaki itu.

Naina mengangguk, meski lelaki itu tak bisa melihatnya. "Oke."

"Kututup, ya."

"Eh," sela Naina.

"Kenapa?" Arzio bertanya.

"Makasih!"

"Untuk?"

"Mawarnya," cicit Naina.

"Sama-sama. Assalamualaikum!" pungkas Arzio.

"Waalaikumussalam!"

Senyum itu tak hilang, atau luruh barang sedetik. Hatinya menghangat, bersama rindu yang terpecah. Ya, ia rindu Arzio yang dulu, ia rindu kisahnya dulu. Hari ini, ia mendapatkannya kembali. Arzio dan kasih sayangnya. Meski mungkin salah, biarlah ia menikmatinya dulu. Hingga takdir akan membawanya ke mana.

Mei Itu BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang