BAB 4

437 25 4
                                    

KARINA MENYILANGKAN KAKI, dengan malu menarik rok lurusnya menutupi lutut ketika ia menyadari bahwa gerakan tidak sabarnya telah menarik perhatian pria di balik meja.

"Laporan keuangannya selengkap yang bisa saya buat, Mr. Kim. Saya sudah memasukkan beberapa referensi kredit, catatan pajak penghasilan saya selama tiga tahun terakhir, proyeksi saya atas penghasilan masa depan."

"Anda sangat cermat, Miss Yu."

Itu sama sekali tidak memberi petunjuk pada Karina tentang apa yang dipikirkan si petugas bank tentang kolom-kolom angka yang sudah diamati pria itu setidaknya dua belas kali sejak Karina tiba lima belas menit sebelumnya. Dari balik kacamatanya, pria itu memindai halaman-halaman itu lagi.

Lalu dia mengesampingkan laporan keuangan yang telah dipersiapkan dengan saksama itu, melipat tangan di atas meja, dan menatap Karina seolah ia berniat menyampaikan kabar sedih bahwa Santa Claus tidak benar-benar nyata. Ekspresinya tampak superior, menyesal, simpatik. Karina menguatkan diri untuk mendapati harapan tingginya diempaskan ke bebatuan diskriminasi gender.

"Angka-angka yang Anda cantumkan sangat mengesankan, Miss Yu."

"Tapi realistis, saya rasa." Karina tersenyum, berusaha agar kecemasannya tidak terlihat. Bank tidak meminjamkan uang pada orang-orang yang terlihat membutuhkannya.

"Meskipun saya mengagumi antusiasme Anda pada pekerjaan Anda, saya rasa Anda agak terlalu optimistis."

"Sebaliknya, saya justru berhati-hati dalam proyeksi saya."

"Tapi," ujar Mr. Kim, berdeham dengan gaya penting, "tetap saja itu cuma proyeksi."

"Proyeksi yang didasari pengalaman." Karina mengambil risiko untuk berdebat, menolak menerima penolakan tanpa menunjukkan perlawanan sengit. "Saya tahu berapa yang bersedia dikeluarkan wanita, atau pria dalam hal ini, untuk benda-benda seperti ini. Calon klien saya adalah orang-orang kalangan atas berpenghasilan tinggi."

"Tapi Anda tidak memiliki klien saat ini," sahut Mr. Kim objektif.

"Itulah sebabnya saya membutuhkan pinjaman bisnis ini, Mr. Kim. Untuk mempromosikan bisnis baru saya. Saya punya klien, orang-orang yang bersedia bekerja sama hanya dengan saya di tempat kerja saya saat ini. Mereka tidak akan memercayakan diri mereka pada orang lain. Begitu mereka tahu saya membangun bisnis sendiri, otomatis mereka akan mendatangi saya."

Mr. Kim tampak skeptis, tapi tidak menyangkal. Alih-alih, ia menunduk ke arlojinya, sebagai pengingat bahwa Karina telah menyita banyak waktunya yang berharga. "Tentang jaminannya—"

"Kabin di danau."

"Tapi itu sebenarnya milik ayah Anda."

"Dan dalam berkas tersebut Anda akan menemukan surat yang memberi saya izin untuk menggunakannya. Apakah Anda menganggap saya memalsukan tanda tangan Ayah saya di surat itu, Mr. Kim?"

"Tentu saja tidak, Karin," ujar Mr. Kim dengan senyum pura-pura ceria. Ia kelepasan memanggil Karin dengan nama kecilnya. Mereka berdua sama tidak menyadari hal itu karena pada saat lain sebelum hari ini, Mr. Kim selalu memanggilnya Karin.

"Kalau begitu saya tidak mengerti apa masalahnya. Nilai jual kabin di danau beserta hutan di sekelilingnya lebih dari sekadar menutup jumlah yang hendak saya pinjam. Dan seperti Anda tahu, ayah saya adalah pebisnis terhormat. Dia tidak menjaminkan propertinya kalau dia tidak menaruh kepercayaan pada apa yang hendak saya lakukan."

"Tapi berwiraswasta," ujar Mr. Kim sambil menggeleng sedih, "merupakan langkah ambisius bagi siapa pun. Tapi terutama bagi wanita."

Karina duduk bersandar di kursinya dan menga-mati pria itu penuh penilaian. "Maksud Anda, andaikata saya pria, Bank tidak akan ragu meminjami saya uang?"

MISS KARINA'S RETURNWhere stories live. Discover now