BAB 9

785 25 2
                                    



KARINA MENGHENTIKAN MOBIL tepat di ujung jalan lalu berlari menaiki undakan. Ia masuk lewat pintu depan dan membanting pintu hingga tertutup di belakangnya, dan buru-buru menguncinya. Ia berlari melewati ruang duduk yang luas menuju kamar tidurnya dan segera membuka ritsleting gaun di sepanjang punggungnya.

Ia harus membakar gaun ini. Ia tidak menginginkan apa pun yang mengingatkannya pada pernikahan atau perkawinan. Sekali lagi ia harus menyingkir jauh-jauh dari segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, kali ini untuk selamanya. Ia harus meninggal-kan tempat ini.

"Karina, buka pintunya!"

Karina mendengar teriakan Jeno dan kepalan tangan laki-laki itu menggedor-gedor pintu depannya, tapi tidak mengindahkannya. Ia menanggalkan gaun sutranya dan melempar gaun itu melintasi ruangan, membuat benda itu teronggok di sudut seperti parasut yang mendarat di tanah.

"Aku memperingatkanmu!" teriak Jeno.

Makeup-nya luntur ketika Karina menghapus air mata dari matanya. Betapa tolol dirinya, menganggap masih mencintai Heesung. Semua sakit hatinya sia-sia belaka. Untuk apa ia menanggung semua rasa malu dan penghinaan itu? Untuk apa ia melindungi laki-laki itu? Karina menendang lepas sepatu berhak yang dicelup warna yang serasi dengan gaunnya. Lalu ia berdiri mematung. Suara kayu terbelah, disertai sumpah serapah, segera diikuti langkah kaki berat melintasi ruang duduk.

Karina melangkah keluar kamarnya, terperanjat mendapati Jeno berani merobohkan pintunya. Tapi pintunya sekarang menganga, menggantung hanya pada satu engsel, masih bergetar gara-gara hantaman yang menghancurkan kuncinya. Dan Jeno, dengan mata sedingin bongkahan es Kutub Utara, rahang terkatup rapat seolah dipahat dari batu berderap melintasi ruang duduk dengan langkah yang begitu mantap hingga jantung Karina yang tadinya berdebar kencang langsung berhenti berdetak.

 Dan Jeno, dengan mata sedingin bongkahan es Kutub Utara, rahang terkatup rapat seolah dipahat dari batu berderap melintasi ruang duduk dengan langkah yang begitu mantap hingga jantung Karina yang tadinya berdebar kencang langsung berhenti berdetak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pada suatu waktu sejak meninggalkan gereja, Jeno telah melepaskan jas tuksedo dan membuka ikatan dasinya. Dasi itu masih menggantung di sekitar leher dan membuat laki-laki itu entah bagaimana kelihatan lebih marah. Kancing kerah kemeja formalnya terbuka, walaupun manset oniksnya masih berada di lubangnya.

Terperangah hingga tak mampu bergerak oleh kemurkaan yang diperlihatkan Jeno, Karina bergeming di posisinya di lorong. Ketika Jeno mencapainya, laki-laki itu menyentak tubuhnya begitu tajam dan tinggi hingga kaki Karina menggelantung, nyaris tidak menyentuh lantai. "Harusnya kupelintir lehermu karena menyetir seperti itu."

"Jangan ganggu aku."

Karina tidak mau berurusan dengan Jeno, apalagi setelah semalam, ketika laki-laki itu sekali lagi mengajaknya ke taman khayalan penuh bunga hanya untuk membangunkannya kembali dengan ucapan "selamat malam, Karina" yang santai. Ia tidak akan jatuh lagi dalam pesona laki-laki itu. Tidak sekarang. Tidak selama nya.

"Keluar dari rumahku!" teriak Karina. "Berani-beraninya kau—"

"Diam! Kau melihatku di belakangmu, kan?"

MISS KARINA'S RETURNWhere stories live. Discover now