RUMAH TUA SUKA melesak dan membuat suara-suara berderit, kan?
Benar.
Dahan-dahan akan membentur atap waktu angin bertiup, kan?
Benar.
Jadi tidak perlu panik, kan?
Salah. Karena suara-suara itu datang dari arah gudang di belakang rumah tempat ayahnya biasa membersihkan ikan. Suara itu tidak mungkin ditimbulkan oleh fondasi kayu yang melesak ke tanah ataupun angin.
Jantung Karina berdebar begitu kencang hingga ia berpikir jangan-jangan ia cuma mengkhayalkan semua ini. Tapi waktu mendengar suara-suara itu lagi, seperti sesuatu atau seseorang melangkah menembus sesemakan di belakang gudang, ia mulai berkeringat dingin karena takut.
Untungnya ia sadar ia sudah mematikan lampu dapur. Ia mengendap-endap ke jendela di atas bak cuci piring, yang memberinya pemandangan ke belakang lahan hingga sejauh dermaga dan danau jauh di sana. Tangannya gemetar ketika menyibak tirai, membuat celah tak lebih dari 2,5 sentimeter, cukup untuk mengintip ke luar.
Tidak ada apa-apa. Malam itu gelap. Bulan hanya tampak separuh, dan terhalang awan. Angin mulai bertiup kencang. Danau lebih beriak dibanding tadi siang. Kelihatannya seolah awan-awan di langit akan menimbulkan badai musim panas.
Karina berdiri tak bergerak di jendela selama beberapa menit. Tak ada apa-apa di luar sana yang bergerak, kecuali pepohonan yang membungkuk anggun diembus angin. Apa yang didengarnya pasti cuma dahan-dahan yang tertiup angin. Ia menutup kembali tirainya.
Sambil menggeleng-geleng, merasa geli sekaligus jengkel pada dirinya sendiri karena sudah bersikap konyol, Karina berbalik dan beranjak keluar dapur untuk kedua kalinya. Lagi-lagi, ia baru sampai ambang pintu ketika mendengar suara lain. Kali ini bunyi besi beradu. Ayahnya menaruh ember-ember, peralatan berkebun, dan alat-alat pertukangan di gudang.
"Oh, Tuhan." Merintih ketakutan, Karina membekap mulut dengan jemarinya.
Mark dan Giselle sempat mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang Karina yang tinggal sendirian di danau.
"Tak pernah terjadi tindak kriminal serius di sana," Mark memberitahunya, "tapi pemuda-pemuda yang berpesta bir, mabuk, bisa membuat keributan."
"Kau yakin tidak mau menginap di kota saja bersamaku?" tanya Giselle.
"Jangan konyol. Rumahmu bakal hiruk-pikuk sepanjang minggu. Aku akan lebih aman sendirian di danau."
Sekarang Karina menyesali keputusannya. Andai ia tidak begitu keras kepala, ia bakal meringkuk aman di kamar tidur tamu rumah Giselle dan bukannya gemetar ketakutan di kabin terpencil.
Ia tidak membuang-buang waktu lagi dan langsung menyambar telepon di dinding, yang tidak pernah diputus oleh orangtuanya. Dalam gelap, ia menabrak kursi dapur hingga terbalik. Jari kakinya membentur meja saat ia menangkap pesawat telepon. Ia menekan angka 0 dan menunggu operator menjawab sambil menahan napas.
Begitu operator wanita itu menjawab, Karina berkata, "Aku butuh bantuan." Kata-katanya terdengar lirih, satu kata nyaris tumpang-tindih dengan kata berikutnya, meluncur keluar dari bibirnya yang gemetar. Karina yakin dirinya terdengar histeris dan tidak masuk akal, tapi ia tidak bisa menahan diri, "Telepon polisi. Beritahu mereka untuk segera datang. Aku sendirian dan seseorang ada di luar kabinku di danau. Kurasa mereka mungkin akan mencoba mendobrak masuk."
Walaupun kejadiannya tidak benar-benar seperti itu, lebih baik mencegah daripada menyesal belakangan. Lebih baik mengantisipasi ada penjahat daripada berdiam diri dan menunggu si penjahat beraksi. Lagi pula, itu bisa membuat pesannya terdengar gawat darurat. Berhasil. Tanpa ragu, si operator berkata, "Aku sudah menelepon kantor sherif. Seseorang akan segera tiba di sana."

YOU ARE READING
MISS KARINA'S RETURN
Romance"Banyak yang bisa terjadi dalam seminggu." _Jeno Lee Seminggu. Selama itulah yang akan dihabiskan Karina Yu di Suwon demi menghadiri pernikahan sahabatnya, Giselle. Tiga tahun lalu dia membuat skandal besar di kota kelahirannya itu, dan sejak saat i...