Loved

593 6 0
                                    

Aku takut kehilanganmu,

Aku benci melukaimu,

Aku sedih melihatmu berduka.

Jadi ku minta, berbahagialah...

Meski aku tak di sisimu lagi,

Aku ingin melihatmu tersenyum.

Pandanglah langit ini dengan bangga,

Karena aku akan selalu bersamamu, selamanya.

(-)

Malam itu aku datang sendirian ke sebuah restoran cepat saji yang sering kukunjungi bersama pacarku, Yuda. Restoran ini tidak terlalu besar, tetapi sangat nyaman jika dijadikan tempat kongko-kongko bersama teman-teman. Seluruh perabotannya terbuat dari bahan-bahan ramah lingkungan, atau memanfaatkan barang-barang daur ulang. Penataan ruangan restoran yang bernama "Green Cafe" ini mengingatkan kita pada zaman dulu, dengan foto-foto bangunan tua, pajangan-pajangan berupa ceret atau setrika kuno, dan lain-lain.

Biasanya memang aku dan Yuda datang ke sini bersama beberapa teman lainnya, tetapi kali ini aku hanya ingin sendirian. Hubungan kami sedikit mengalami masalah dan aku pergi dari rumah karena ingin menenangkan diri. Yang perlu diketahui di sini, aku dan Yuda tinggal bersama di sebuah kontrakan di dekat kampus. Kuharap kalian tidak salah paham dengan keadaan kami yang bisa dibilang "kumpul kebo". Meski kami berpacaran dan tinggal bersama, kami sama sekali tidak melakukan hal-hal mesum.

Seorang pelayan menghampiriku yang tengah duduk melamun di salah satu sudut restoran, membawa buku menu. Namanya Angga. Kami mengenal satu sama lain karena sebenarnya laki-laki itu bekerja paruh waktu dan kuliah di kampus yang sama denganku. Ia duduk di hadapanku sambil tersenyum penuh pengertian. Aku tidak yakin ia memahami apa yang kurasakan, tetapi ia menunjukkan sikap yang penuh perhatian.

"Kamu mau makan sesuatu, Ri?" tanya Angga, dengan suara lembutnya.

Kupaksakan diri untuk tersenyum kepada Angga dan perlahan menggeleng. "Nggak nafsu makan, Ngga."

"Kamu harus makan, Dear. Nggak usah makanan berat. Panekuk Stroberi mau?" Angga bersikeras.

"Makasih, Angga. Tapi aku bener-bener nggak nafsu..."

"Aku yang traktir. Minumnya Vanilla Latte, oke?"

Akhirnya aku mengangguk. Aku merasa tidak enak jika harus menolak tawaran Angga untuk yang ketiga kalinya. Angga pun bangkit dari kursi di hadapanku, menuju bagian dapur untuk membuatkan panekuk dan vanilla latte seperti yang ia tawarkan. Aku pun kembali tenggelam dalam lamunanku. Sebenarnya tidak memikirkan apa-apa, hanya memandangi orang-orang yang duduk di meja-meja restoran.

Tak lama kemudian, Angga kembali dengan pesananku. Ia menyampaikan penyesalannya karena tidak bisa menemaniku menikmati makanan yang telah terhidang. Tempat itu sedang penuh berkat pasangan-pasangan yang sedang berkencan pada malam Minggu. Tentu saja aku tidak terlalu memusingkan Angga hendak menemaniku atau tidak. Yang jelas malam ini aku hanya ingin sendirian.

Aku tahu, waktu yang kupilih untuk menyendiri bukanlah waktu yang cocok dengan suasana hatiku. Terlalu banyak pasangan yang tengah berbahagia, sementara aku sendirian di pojok, hanya berbekal ponsel dan dompet. Sungguh menyedihkan.

Kutundukkan pandangan, memandangi panekuk stroberi yang dibawakan Angga. Memang aku mengatakan kalau aku tidak bernafsu untuk memakan apa pun, tetapi kata orang, jika memakan makanan manis ketika sedang kesal atau sedih, biasanya perasaan tersebut bisa menghilang perlahan. Jadi, aku pun mulai memotong panekuk dengan sirup stroberi dan es krim vanilla itu, lalu memakannya sedikit demi sedikit.

The One I LoveWhere stories live. Discover now