Kegelapan itu menyiksaku…
Menghancurkan harga diriku…
Membinasakan apa yang telah lama ku bangun…
Namun aku mencintai kegelapan itu.
Kegelapan yang lain…
Yang berbeda dari kegelapan yang selama ini melingkupiku…
Kegelapan yang hangat…
(-)
Malam itu, Chery, Tiara, dan Wulan menginap di rumahku. Tidak ada yang membahas mengenai kekerasan yang dilakukan Dhani terhadap Tiara. Hanya bersenang-senang sampai puas. Berusaha membuat Tiara nyaman di rumahku. Aku bersyukur, selama beberapa hari menginap di tempatku, Tiara merasa baikan dan kembali ceria. Ia juga bercerita tentang alasan Dhani melakukan kekerasan itu. Tiara mengaku kalau Dhani memiliki sifat tempramental, dan waktu itu Tiara yang benar-benar melakukan kesalahan terhadap Dhani, sehingga merasa pantas Dhani menghajarnya.
Setelah satu minggu Tiara menginap di rumahku, ia kembali ke rumahnya dan menjauh dari Dhani. Kembali ke rumah orang tuanya. Sejak itu, kami hanya berhubungan lewat telepon karena khawatir Dhani akan mencari-cari keberadaan Tiara.
Satu bulan berlalu. Namun tidak ada kabar apapun dari Tiara. Terakhir kali Tiara menelepon, sekitar lima hari yang lalu, dia mengatakan bahwa Dhani menyesali perbuatannya dan meminta maaf pada Tiara. Ia meminta Tiara untuk kembali bersamanya. Tiara menerimanya. Namun, saat aku meneleponnya, hari ini, tak ada jawaban dari Tiara. Padahal hari ini kami semua hendak merayakan ulang tahun Tiara di klub.
"Sayang, kita berangkat sekarang, yuk..." ajak Yuda, mengetuk pintu kamarku. Aku mengalihkan pandangan ke arah pintu, lalu memasukan ponsel ke dalam tas mungilku.
"Tetep nggak diangkat, teleponku..." ujarku begitu ke luar kamar.
"Udah kamu SMS? Paling nggak, dia tau kalo kita semua nunggu dia di klub..." kata Yuda, mengulurkan mantel padaku. Aku mengangguk untuk menanggapi ucapan Yuda, kemudian mengirimkan pesan pada Tiara, agar datang ke klub malam ini. Setelah itu, kami berdua berangkat.
(-)
Klub malam. Suasana remang-remang dengan musik yang hiruk pikuk. Asap rokok mengepul, memenuhi ruangan. Di lantai dansa, manusia-manusia menggeliat, bergoyang mengikuti musik yang tak jelas. Karena pacaran dengan Yuda yang merupakan ketua dari sekelompok anak-anak berandal, aku sering mampir ke café atau bar, tempatnya biasa nongkrong. Semuanya adalah orang-orang yang biasa datang ke tempat-tempat seperti ini. Mereka terlihat menikmatinya. Meski aku sering datang ke tempat yang remang-remang seperti ini bersama Yuda, tetap saja aku tidak bisa menikmati acara. Jadi aku hanya duduk di bar, memerhatikan orang-orang yang bergoyang-goyang mengikuti musik. Memisahkan diri dari Yuda.
Dari tempatku, aku bisa melihat Chery dan Andre yang sedang menari dengan liar. Saling berpelukan, seolah dunia milik mereka berdua. Di sofa, yang berseberangan dengan tempatku duduk, Wulan duduk di pangkuan Angkasa dengan mesra. Sesekali Wulan tertawa saat Angkasa menceritakan hal-hal lucu. Kulayangkan pandangan ke setiap sudut klub, mencari-cari Tiara di antara kerumunan orang. Sudah satu jam kami menghabiskan waktu di klub, tanpa Tiara. Dia tak kunjung datang. Waktu kutelepon pun, masih tak ada jawaban. Kuharap tidak ada masalah lagi dengan Dhani.
"Hei, kok sendirian?" tanya Dhani. Ia membawa dua minuman, yang satu adalah minuman berwarna biru, sedang yang lainnya jus jeruk. Dhani menyodorkan jus jeruk itu kepadaku.
“Lo di sini, Dhan? Tiara mana?” aku balik bertanya. Aku menunjukkan sikap waspada karena firasatku selalu mengatakan kalau Dhani bukanlah orang yang baik, selalu memiliki rencana buruk di balik wajah malaikatnya. Terutama setelah kejadian kekerasan terhadap Tiara itu. Akan tetapi, aku tetap menerima jus jeruk pemberian Dhani, sekadar untuk kuputar-putar di tanganku.
"Gue dateng sendiri. Emang ada apa sama Tiara?" tanya Dhani lagi.
"Lo kan pacarnya, masa' nggak ingat hari ulang tahunnya? Tadi gue udah berkali-kali nyoba telepon dan SMS dia, tapi nggak diangkat juga..."
"Gitu, ya?" tanya Dhani, setengah bergumam, sambil meminum minumannya. "Gue sendiri udah nggak ketemu dia sejak tiga hari lalu."
Pembicaraan kami berdua pun semakin dalam dan menyenangkan, tingkat kewaspadaanku juga semakin menurun. Aku pun meminum jus jeruk pemberian Dhani karena kerongkonganku terasa kering akibat banyak berteriak kepada Dhani untuk mengimbangi suara musik yang hingar bingar. Pembicaraan kami pun semakin jauh dari pembicaraan mengenai Tiara. Aku heran, Yuda tidak memerhatikan kami sama sekali. Dan entah sejak kapan, tubuhku semakin lemas. Dhani langsung memapahku menuju lantai atas, di mana orang-orang biasa melakukan seks dengan wanita-wanita penghibur yang berkeliaran di lantai bawah. Dhani menggendongku layaknya pengantin perempuan.
Aku melihat Andre menghentikan langkah Dhani. Tampaknya mereka membicarakan sesuatu, sampai dua orang lainnya menyeret Andre pergi. Dhani pun kembali melangkahkan kakinya ke lantai atas.
Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi selanjutnya. Yang pasti, aku merasa bahwa Dhani membaringkanku di atas kasur. Dhani juga mengatakan sesuatu mengenai balas dendam pada Yuda, seraya merayap, menghampiriku. Dhani menyentuh pipiku dengan jari-jarinya. Aku mengernyit ketika tangan dinginnya sampai ke leherku.
"Lo satu-satunya orang yang bisa membuat Yuda hancur berkeping-keping..." desis Dhani di telingaku.
Aku menghela nafas panjang. Dapat kurasakan nafasnya di tengkukku dan aku merasa kedinginan hingga ke sumsum tulang. Tubuhku gemetar hebat. Merinding. Seandainya aku bisa menggerakan tubuhku dengan leluasa, akan ku hajar orang ini hingga babak belur. Tangan Dhani yang lain menyentuh pinggulku, memelukku dengan lembut.
Sampai akhirnya, pintu kamar terbuka dengan keras. Aku menoleh dengan lemah, menatap wajah Yuda yang terbakar emosi. Rasa takut yang luar biasa yang tadi sempat melanda diriku, hilang seketika ketika mata kami saling bertemu. Pandangan yang penuh amarah itu, menatapku dengan lembut untuk sekilas. Tatapan yang sangat melegakan.
Yuda menarik tubuh Dhani untuk turun dari tempat tidur, kemudian memukulnya. Aku tidak melihat kejadian itu sampai akhir karena rasa kantuk tiba-tiba datang. Kegelapan pun menyelimutiku, sesaat setelah aku melihat wajah kaget semua teman-temanku yang baru datang untuk melihat apa yang terjadi.
(-)
Aku melihat wajah Yuda di sebelahku. Sorot matanya seolah hendak membunuh seseorang, dan terlihat frustasi.
"Kita harus bawa manusia brengsek itu ke kantor polisi, sekarang juga!" katanya. Suaranya bergetar. Emosi yang tak tertahan, tak bisa disembunyikan Yudha.
"Tapi keadaan Riana nggak baik. Dia keliatan mabuk atau apalah namanya, sampai bisa lemas gitu. Kita ke rumah sakit dulu, baru bawa Dhani ke kantor polisi..." ujar Angkasa, tenang. Ia sedang menyetir mobil di depan.
Yuda seolah baru menyadari perkataan Angkasa, kemudian berpaling menatapku. Ia terlihat kaget karena aku sedang memandanginya dengan tatapan lesu. Yuda mengusap wajahku pelan seraya tersenyum.
"Tidurlah... Kita akan ke rumah sakit..." kata Yuda, memperbaiki jaketnya yang menutupi tubuhku.
Aku menggeleng. Sepertinya obat yang diberikan Dhani masih memberi pengaruh dan kini tubuhku panas, sehingga tidak bisa tidur seperti yang Yuda minta. Aku mengeluarkan tanganku dari balik selimut, mengambil tangan Yuda untuk dilingkarkan ke tubuhku, dan aku duduk di pangkuannya. Menyandarkan kepalaku yang sedikit pusing ke bahunya. Diam di sana, merasakan detak jantungku, mendengarkan detak jantung Yuda yang seirama dengan milikku.
Tangan Yuda yang lain ikut memelukku, mencoba membuatku merasa nyaman. Tak lama, aku pun kembali tertidur dalam dekapannya. Detak jantung Yuda, menjadi lagu tidurku, aroma parfum yang tercampur bau rokok mint menjadi aromatherapy yang menenangkanku. Ketakutan yang sempat kurasakan ketika bersama Dhani, semakin menghilang. Jauh, ke dasar hatiku yang paling gelap, yang tak akan pernah bisa kubuka lagi.
YOU ARE READING
The One I Love
RomanceIni adalah kisahku, Riana Anindya. Bukan kisah yang romantis, juga bukan kisah yang membahagiakan. Kisah ini menguak luka di hatiku, tetapi selalu ada kebahagiaan di baliknya. Entahlah.