Tidak apa jika tak bilang
Tak akan ku paksa
Namun rasa sakit itu juga menyiksaku
Ceritakan padaku
Betapapun sakitnya, aku akan coba menanggungnya
Tak akan ku biarkan kau terluka
Untuk yang kedua kalinya
(-)
Aku pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup. Lupa membawa payung ketika berangkat ke kampus tadi. Aku segera masuk, menyalakan semua lampu, dan mengeringkan rambutku. Setelah berganti pakaian dengan pakaian yang kering, aku menyalakan laptop. Berniat melanjutkan sebuah novel yang selama ini sedang kubuat. Namun aku hanya bisa terpaku memandangi layar. Tak ada satu pun ide yang muncul untuk melengkapi novelku ini. Padahal sebentar lagi akan deadline.
Kuputuskan untuk menghentikan niatku menulis. Kupandangi jam dinding yang menunjukan pukul 19.00. Seharusnya Yuda sudah pulang sejak tadi, tapi sampai sekarang dia belum juga pulang. Aku sedikit khawatir. Selama dua tahun pacaran denganku, Yuda mengurangi kegiatan malamnya bersama anak-anak geng atau membuat onar seperti menyerang geng lain. Kalaupun ingin berkumpul dengan teman-temannya, ia pasti memberi kabar padaku dulu.
Aku ke luar dari ruang belajar. Menuju dapur untuk mengambil cemilan dan air. Saat itulah aku melihat Yuda masuk ke rumah, sama basah kuyup seperti ketika aku pulang tadi. Wajar saja, hujan masih turun dengan deras, meski sudah satu jam berlalu. Seperti sedang ada badai di luar sana. Bahkan ketika pulang tadi, kulihat papan iklan di jalan bengkok terkena terpaan angin sampai lampu sorotnya pun mengeluarkan percikan api.
Melihat Yuda datang ke dapur sambil mengeringkan rambutnya, aku mengeluarkan dua mug, kemudian membuatkan teh hangat.
"Gila! Cuaca hari ini bener-bener parah! Tadi kamu keujanan?" tanya Yuda.
"Ya. Kenapa baru pulang sekarang? Kuliahmu selesai jam lima kan?” aku balik bertanya, seraya menuangkan air panas ke mug.
“Tadi ditahan Bu Siska gara-gara aku udah mempermalukannya di depan kelas.”
“Mempermalukan gimana?”
“Dia merasa dirinya benar, jadi aku bantah pendapatnya. Cuma sekadar untuk kasih pelajaran aja. Pokoknya tadi di kelas kami berdebat hebat.”
Yuda mengobrak-abrik lemari makanan kami. Mungkin lapar. Ia terlihat kecewa karena tidak menemukan apa-apa untuk dimakan.
"Terus? Apa yang terjadi setelah kuliah berakhir?" tanyaku. Rasanya tidak masuk akal, jika kuliah berakhir pukul lima lewat dan Yuda baru sampai pukul tujuh. Sebab rumah kami bisa dicapai dalam waktu setengah jam dari kampus.
Yuda berbalik menghadapku.
“Kamu curiga aku selingkuh?” Yuda balik bertanya. Ia kemudian mendekatiku, lalu mengelus kepalaku dengan lembut. “Jangan berpikir yang nggak-nggak...” katanya, kemudian mengambil teh hangat buatanku.
“Aku belum memasukan gula...” ujarku saat melihatnya menenggak minuman itu.
“Nggak apa-apa. Yang penting di depanku ada kamu.”
Kuputar bola mataku karena gombalan Yuda itu dan ikut meminum minumanku bersamanya.
(-)
Aku menghadap meja belajarku. Besok ada kuis, jadi aku memilih untuk belajar lebih keras malam ini. Nilai-nilaiku turun drastis di tahun ketiga ini dan harus segera memperbaikinya. Kuis besok pun harus bisa kukerjakan dengan lancar.
Hanya, yang menjadi masalah adalah semangatku. Mood yang naik-turun, semangat belajar berkurang, dan inginnya melamun. Mungkin aku sedang jenuh. Tidak ingin kuliah rasanya. Apalagi di kampus aku tidak punya kegiatan apa-apa. Kuliah, kumpul-kumpul, pulang. Hanya itu kegiatanku sehari-hari, dan aku jenuh!
Yuda memang sering mengajakku ke klub tiap seminggu sekali, saat akhir pekan. Akan tetapi itu adalah kegiatan yang sia-sia. Membuang-buang uang dan merusak kesehatan karena klub penuh dengan asap rokok.
Aku menempelkan kepala ke meja belajar sambil menghela nafas. Sepertinya ini membuat Yuda merasa tertarik dan mengalihkan pandangannya padaku. Aku meliriknya. Meja belajar kami bersebelahan, jadi aku bisa menatap wajahnya dari samping.
“Aku bosan.”
Yuda melemaskan tubuhnya, menanggapi ucapanku tadi dengan mengelus kepalaku.
“Besok kamu kuis kan? Mau kubantu belajar?” tanya Yudha.
“Kalau kamu sih nggak ada harapan. Kita beda jurusan, ingat?”
Yuda tersenyum lebar. Ia menunjukan pesonanya sebagai laki-laki. Ah, wajahnya yang halus, rahangnya tegas, dan sorot matanya yang membuatku selalu berdebar-debar. Mata itu menatapku dengan serius. Jantungku pun berdebar kencang.
“Apa sih?!” protesku, seraya memalingkan wajah. Aku yakin, saat ini wajahku memerah. Siapa yang tidak malu jika diperhatikan seperti itu? Well, aku malu.
“Istirahat sebentar aja. Mumpung ujan sudah reda, kita jalan-jalan sebentar, yuk...” ajak Yuda, masih berusaha membujukku.
“Malas. Jalanan becek.”
“Ayolah... Jangan merusak suasana...”
Yuda menarik tubuhku untuk bangun. Mau tidak mau, aku pun mengikuti keinginannya. Kami pergi ke luar, malam-malam, dengan langit kelabu di atas sana.
(-)
Kami kembali ke rumah setelah satu jam jalan-jalan. Pergi ke sebuah rumah makan dan makan malam di sana sambil menghangatkan diri. Rupanya bau angin malam yang basah tidak buruk juga. Malah cukup nyaman bagiku.
Kami sedang berada di jalan rumah kami, saat aku melihat Tiara memeluk lututnya di depan rumah. Aku pun langsung berlari menghampirinya, meninggalkan Yudha.
Tubuh Tiara dingin. Sepertinya sudah cukup lama dia berada di sini. Mungkinkah sejak satu jam lalu?
Tiara mengangkat wajahnya. Aku tersentak kaget. Wajah cantik itu kini banyak dinodai luka. Darah segar masih mengalir di sudut bibirnya.
"Lo kenapa, Ra??" aku tidak berani melanjutkan. Aku menghambur ke hadapannya, sibuk memperhatikan wajahnya sambil melihat seberapa parah luka yang ia miliki. Saat itu aku baru sadar bahwa tidak hanya luka di wajah, tetapi juga memar di tangan dan kaki.
"Mendingan kita masuk dulu, gawat kalo ada yang liat Tiara dalam keadaan begini," kata Yuda, membukakan pintu rumah. Aku menurut. Dengan lembut, aku membimbing Tiara untuk mengikuti kami ke dalam rumah.
Setelah masuk, Tiara duduk di ruang tamu. Yuda memberi isyarat padaku untuk ikut ke bagian belakang rumah, wajahnya serius, memandangi Tiara dari atas sampai bawah.
"Kamu urus dia dulu ya. Kayaknya ada masalah sama pacarnya," kata Yuda. "Aku akan mencari tahu di mana dia berada, kamu cukup menenangkannya saja."
"Tunggu. Kamu kenal pacar Tiara?" tanyaku. Tiara belum pernah memperkenalkan pacarnya kepada kami, jadi bagaimana mungkin Yuda tahu?
Yuda masih memandangku serius. "Aku cuma tau kalo Tiara pacaran dengan orang yang 'ringan tangan' dan Andre yang kenal dengan pacarnya itu."
"Terus kamu nggak pernah cerita ke aku?!"
"Aku juga baru tau hari ini, makanya aku pulang agak telat. Daripada kita bertengkar, mending urusin sahabat kamu itu," tegur Yuda.
Aku pun mengangguk. Yuda berjalan ke depan, sementara Tiara memandangi Yuda dengan takut-takut. Tanpa menoleh, Yuda langsung melesat ke luar dengan motornya. Aku kembali menemani Tiara setelah membuatkan coklat panas.
Tangan gemetar Tiara menerima gelas yang kusodorkan dan ia meminumnya sedikit.
"Ada apa? Cerita dong, Ra," ujarku, berusaha mencaritahu tentang kejadian yang menimpa Tiara. Mulut Tiara terbuka, namun tak ada suara yang dikeluarkannya.
Aku tersenyum maklum, lalu mulai mengobati luka-lukanya.
YOU ARE READING
The One I Love
RomanceIni adalah kisahku, Riana Anindya. Bukan kisah yang romantis, juga bukan kisah yang membahagiakan. Kisah ini menguak luka di hatiku, tetapi selalu ada kebahagiaan di baliknya. Entahlah.