Sadness

161 5 0
                                    

Derita menghilang

Berganti dengan kebahagiaan kekal

Mengawasi orang yang terkasih

Dari tempat yang tak terjangkau

Mendoakan setiap orang yang disayangi

Untuk terus merasa bahagia

Tak ada penyesalan

Tak ada dendam

Pergi dengan kedamaian yang tak akan pupus

(-)

Untuk beberapa hari aku berada di rumah sakit ini. Pikiranku yang semula hanya terpaku pada masa lalu, kini terbuka dan mulai memandang ke depan. Berkat dukungan Yuda dan teman-teman, aku menemukan kembali tujuanku yang semula membuyar.

"Hei, apa kabar lo, Na?" tanya Wulan. Ia membawa buah-buahan, datang bersama Chery yang mengguncang-guncangkan kantong kertas berisi komik. Dua sahabatku ini sering sekali datang, terutama jika Yuda sedang tidak ada. Biasanya Yuda menginap di rumah sakit untuk menemaniku, tetapi hari ini dia pulang ke rumah untuk berganti pakaian.

"Kabar baik... Kalian nggak kuliah?" aku balik bertanya.

"Gue sih udah selesai kuliah. Kalau Chery, dia bolos. Katanya mendingan jenguk lo daripada ikut kuliah Pak Reza," jawab Wulan.

"Ooh..." aku bergumam maklum, "Si Dosen Lembek itu..."

Aku mengambil kantong kertas dari Chery dan melihat-lihat komik yang dia bawakan untukku. Saat melihat komik seri yang terbaru, aku langsung membacanya.

"Ugh! Tau nggak? Minggu lalu, Dosen Klemar-Klemer itu pedekate sama Anggie! Memuakkan sekali! Padahal udah punya istri, tapi masih aja ngedeketin perempuan lain! Parahnya, Anggie itu mahasiswanya," protes Chery, menceritakan kejadian di kampus dengan antusias.

"Heh. Udah kuduga dia orang yang kayak gitu. Dosen muda yang suka selingkuh dan brengsek. Apa kita bisa kasih dia pelajaran, ya?" tanyaku, menanggapi. Aku tidak mengalihkan pandangan dari komik yang kubaca, tapi aku tetap mendengarkan ucapan Chery dan Wulan.

"Gue setuju sama ucapan lo itu, Na. Kita kasih dia pelajaran aja!” tambah Wulan dengan semangat berkobar.

"Ya, gue juga berpikiran sama." Cherry jelas langsung menyetujui ucapanku.

Aku meletakkan komik di pangkuanku, kemudian berpaling menatap kedua sahabatku itu dan tersenyum kecil. "Ngerasa nggak sih, omongan kita barusan kayak udah terpengaruh sama sifat pacar-pacar kita yang gampang bilang 'hajar' atau 'kerjain' terhadap seseorang? Jangan-jangan nanti lama-lama kita udah nggak bakal canggung lagi untuk bilang 'bunuh'," komentarku, terkekeh.

Cherry dan Wulan tertawa.

"Yang penting kan kita nggak benar-benar melakukan tindak pembunuhan, walau gue bener-bener pengen banget ngehajar orang brengsek kayak Pak Reza dan Dhani," kata Wulan. Ia berhenti bicara dengan tiba-tiba, dengan raut wajah seolah teringat sesuatu dan memandangku dengan tatapan bersalah.

"Nggak apa-apa, kok, Lan. Gue cepet bangkit," aku mengerling pada Wulan, "Lagipula, masih banyak hal yang harus gue pikirin daripada Dhani. Tapi... Tiara nggak pernah dateng. Udah seminggu lebih, lho. Kalian nggak ngobrol sama dia?" tanyaku.

Chery dan Wulan berpandangan. Mereka tampak mengetahui sesuatu, tetapi bimbang untuk memberitahuku atau tidak. Akhirnya Wulan duduk di dekatku, sementara Chery mengupas buah-buahan.

"Keluarga Tiara udah nyariin keberadaan dia selama ini, tapi nggak ada kabar apa-apa dari Tiara. Terus orang tuanya minta bantuan polisi..." Wulan memulai cerita. Ia berhenti sejenak, terlihat ragu. Sementara Chery terlihat gugup di belakang Wulan. Tangannya gemetar, begitu pula Wulan. Seperti menahan kesedihan yang mendalam. Aku ingin tahu dan memaksa Wulan melanjutkan ceritanya.

The One I LoveWhere stories live. Discover now