Perasaan ini mengalir
Merasuk ke dalam hati
Menyentuh bagian yang belum terjamah
Menyadarkanku atas keberadaanmu
Yang memang begitu berharga
Let it flow into my heart
Then I’ll give you a thousands love to feel
(-)
Ini adalah suatu pengalaman yang mengerikan. Aku tidak percaya kalau akan terlibat dalam bencana ini. Begitu ke luar dari lift, tiga orang berseragam merah menghampiri kami semua. Di belakang ketiga orang itu ada beberapa orang lagi, yang sepertinya dari dinas kesehatan. Mereka membimbing kami ke luar gedung sambil melontarkan beberapa pertanyaan mengenai pernafasan dan lainnya. Aku tidak tahu apa jawaban yang kuberikan. Bahkan aku masih belum bisa menyadari sepenuhnya kalau aku sudah ke luar dari lift.
Kami duduk di sebuah kursi yang letaknya jauh di luar bangunan mal. Lalu lintas menjadi macet, dan terik matahari membuat beberapa orang mudah emosi. Aku memandangi semua itu dengan pandangan kosong. Di kursi itu, aku mengangkat kaki dan memeluk lutut. Berusaha menyembunyikan gemetar. Ponsel yang kupegang berdering. Tidak berniat mengangkatnya sampai aku bisa menenangkan diri.
Akhirnya Yuda menghampiriku, mengelus pipiku dengan lembut sebelum akhirnya mengambil ponselku. Ia berbicara dengan seseorang di seberang telepon untuk beberapa saat. Yuda melirikku ketika aku menatapnya.
“Ini dari Tiara... Kamu mau ngomong sama dia?” tanya Yuda, pelan. Menunggu dengan sabar sampai akhirnya kuulurkan tangan untuk meminta ponselku kembali. Aku mendekatkan ponsel ke telinga dan mendengarkan ucapan Tiara.
“Ah, syukurlah kamu tidak apa-apa...” ujar Tiara saat mendengar suaraku menyapanya. Suaranya terdengar bergetar, tapi sekarang sudah tidak lagi.
Tiara merasa sangat menyesal karena tidak mencegahku dan yang lainnya ke mal itu. Ternyata Tiara bermimpi kalau hari ini akan ada kebakaran besar di mal yang kami datangi. Begitu melihat berita, Tiara sempat melihat wajahku di layar televisi dan segera menghubungiku untuk menyampaikan penyesalannya. Ia bahkan berjanji akan memperingatkanku jika akan ada bahaya.
Aku berusaha menenangkannya. Setelah bicara dengan Tiara, rasanya ketakutanku sudah sedikit berkurang. Aku menyadari bahwa Tiara terlalu baik. Dia pasti akan ikut mati kalau teman-temannya mati. Apalagi kalau itu akibat kesalahannya. Makanya, dengan nada setenang mungkin, aku menenangkannya. Aku benar-benar bersyukur karena masih bisa berdiri di sini, memandangi bangunan di hadapanku yang terbakar. Bersama dengan lelaki yang selama ini kucintai, serta teman-teman yang kusayangi.
Seorang dokter memastikan bahwa kami berenam tidak mengalami gangguan pernafasan akibat asap. Memeriksa kulit kami satu per satu, apakah ada luka bakar atau tidak, dan berbagai pemeriksaan kecil lainnya.
"Kita pulang?" tanya Yuda. Aku menatapnya sejenak, kemudian memandang teman-temanku. Wajah mereka terlihat lega karena berhasil lolos dari maut. Aku masih terpaku memandangi kejadian yang nyaris menimpaku.
Yuda kini duduk di sampingku, menggenggam kedua tanganku dengan lembut, dan menepuk-nepuknya. Tubuhku kini gemetar dengan hebat. Kusandarkan kepalaku di bahunya. Ia merangkulku. Lemas sekali rasanya. Ingin segera bangun dari mimpi buruk ini.
"Udah, udah... Kita udah nggak di lift lagi... Sekarang kita udah di luar. Liat tuh ke atas, langit biru membentang luas. Hari ini cerah banget. Ambil nafas, Sayang. Bisa kamu bedain udara di sini lebih baik dari di lift. Kita udah ke luar, jadi kamu nggak perlu takut lagi..." bisik Yuda di telingaku.
Aku mengangguk pelan, kemudian berkata, "Entah kenapa, aneh rasanya kalo kamu menghiburku kayak gitu...”
Yuda tertawa kecil menanggapi ucapanku yang agak canggung. Ia mengacak-acak rambutku dengan lembut. Wulan menghampiriku dengan wajah khawatir. Angkasa mengikuti dari belakang.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Wulan. Aku mencoba tersenyum. Sekecil apapun senyum yang ku buat, aku berusaha untuk tidak membuatnya khawatir.
"Sekarang udah nggak apa-apa. Makasih...” jawabku seraya melepaskan tangan Yuda dari kepalaku. “Kita pulang yuk...” kataku menambahkan, memandang lurus ke langit biru yang cerah. Aku menghirup nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya keras. Kulangkahkan kakiku kembali ke rumah, bersama orang-orang yang penting bagiku.
(-)
Di rumah, orang tuaku menghubungi. Mereka masih tidak tahu bahwa aku tinggal bersama pria di rumah ini. Mereka hanya tahu bahwa aku tinggal sendiri di Jakarta dan sedang kuliah dengan benar. Saat mendengar suara ibuku, aku menangis. Keluargaku kaget ketika melihat aku ke luar dari gedung yang terbakar. Sementara aku bicara dengan kedua orang tuaku, Yuda membuatkan minuman hangat untukku.
Menangis di depan ibuku membuatku merasa lebih lega. Aku merasa bersyukur masih diberi kesempatan hidup. Setelah ini, aku berjanji pada diriku sendiri untuk lebih menghargai waktu dan tidak menyia-nyiakan kehidupan ini.
Yuda datang dengan membawa teh hangat, meletakkannya di meja telepon, kemudian duduk di lantai dengan bertopang di kakiku. Mendengarkanku bercakap-cakap dengan kedua orang tuaku. Ia menghapus air mataku dengan jarinya, lalu meremas jemariku yang kini sedang membelai rambutnya.
Aku memuaskan diri untuk bercerita berbagai macam hal pada ibuku. Yuda tetap tenang di hadapanku, tidak menggerakkan kepalanya dari pangkuanku, dan terus memandangiku lembut. Setengah jam kemudian, aku menutup telepon dan balas memandanginya.
“Udah tenang? Nyokap bilang apa?” tanya Yuda.
"Iya. Tadinya nyokap mau naik kereta ke sini, tapi udah kucegah. Nyokap khawatir banget," jawabku.
"Pastinya," komentar Yuda.
"Orang tua kamu nggak nanya kabar kamu, Yud?"
Lelaki bertubuh atletis yang masih duduk di lantai itu menghela nafas. "Mereka nggak bakal khawatir. Anak kesayangan mereka kan bukan aku."
"Kok bilang gitu?" Aku hendak protes, tetapi akhirnya aku hanya diam. Yuda jarang bercerita tentang keluarganya. Ia hanya memberitahuku bahwa ia memiliki kakak laki-laki yang jauh lebih keren dan lebih bisa diandalkan dibanding dirinya. Waktu itu aku mengira Yuda sangat mengidolakan kakaknya itu, tetapi sekarang yang kulihat dari wajah Yuda adalah cemburu.
"Abang sedang menyiapkan pernikahannya dengan seorang perempuan terpandang, orang tuaku ikut sibuk mengurus persiapan pernikahannya."
Aku hanya terdiam. Tidak tahu apa yang harus kukatakan. Seharusnya Yuda merasa senang dan ikut terlibat dalam persiapan pernikahan itu. Namun, melihatnya kesal dan marah, membuatku tak mampu berkata-kata.
Yuda pun mengangkat kepalanya, lalu memintaku untuk meminum teh buatannya. Katanya hasil racikannya sendiri, agar bisa membuatku merasa nyaman. Nada suaranya terdengar lebih bahagia jika bicara tentang diriku.
Aku menyesap minuman itu, kemudian tertawa kecil.
“Apa-apaan ini? Cuma lemon tea. Kukira ada campuran yang lain...” ujarku, kembali meminum lemon tea buatan Yuda.
“Emang ada campuran yang lain, kok... Kamu nggak merasakannya?” tanya Yuda, agak kecewa. Aku mengangkat alis, tidak mengerti.
“Serius, nggak terasa?” Yuda mengambil gelasku, kemudian meminumnya. Setelah itu meletakkan gelas di meja, dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Dari ciumannya, dapat kurasakan lemon tea mengalir masuk ke dalam tenggorokanku. Ciuman singkat, tapi hangat.
“Perasaan cintaku padamu, ada di dalam lemon tea ini...” kata Yuda, tersenyum jahil.
YOU ARE READING
The One I Love
RomanceIni adalah kisahku, Riana Anindya. Bukan kisah yang romantis, juga bukan kisah yang membahagiakan. Kisah ini menguak luka di hatiku, tetapi selalu ada kebahagiaan di baliknya. Entahlah.