Photos

50 7 0
                                    

Setiap gue kangen Lana, yang gue lakuin cuma buka kotak warna perak yang isinya foto gue sama Lana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Setiap gue kangen Lana, yang gue lakuin cuma buka kotak warna perak yang isinya foto gue sama Lana. Dulu, dia yang ngasih kotak itu di ulang tahun gue yang ke dua puluh.

Mungkin ini alasannya kenapa orang suka banget mengabadikan sesuatu dengan kameranya. Karena foto adalah satu-satunya hal yang nggak akan berubah meskipun orang-orang yang berada di dalamnya sudah berubah. Karena foto adalah tiket kita untuk kembali pada momen-momen yang sebenarnya sudah hilang.

Alana Drianala cuma mahasiswi kupu-kupu waktu kuliah dulu. Dia berangkat kuliah kalau ada jadwal, lalu pulang secepat mungkin setelah kuliah kelar. Dia bukan cewek yang terkenal di kampus, bukan juga incaran cowok-cowok yang suka nongkrong di taman kampus sambil godain cewek cantik yang lewat.

Lana cuma cewek ceroboh yang lupa bawa dompet waktu makan di warung dekat kampus. Iya, se-nggak berkelas itu pertemuan pertama gue dengan Lana. Dia habis makan nasi uduk tapi dompetnya ketinggalan di kelas. Alhasil gue yang dari awal menyimak percakapan Lana dan Bu Rosi (pemilik warung), dengan sopan membayar makanannya karena Bu Rosi sangat anti dengan yang namanya hutang, sekecil apapun.

Gue masih ingat muka malu-malu Lana waktu itu, yang kalau gue ingat, pasti gue akan senyum-senyum sendiri, ya kaya sekarang ini.

"Makasih banget ya, maaf ya Mas, saya ngrepotin. Saya ganti deh, masnya tunggu sini bentar ya," kata Lana yang kemudian buru-buru pergi sebelum gue sempat membalas perkataannya.

Gue nunggu di kursi kayu depan warung sambil ngabisin es teh yang sempat gue pesan. Gak lama, Lana datang setengah berlari. Waktu itu rambutnya yang dikuncir goyang-goyang karena dia lari, lucu banget pokoknya.

"Ini Mas, maaf ya udah ngrepotin tadi. Makasih banget."
"Santai, jangan panggil gue mas lah, kesannya tua banget gue. Kenalin, nama gue Aiden."
"Alana."

Sejak saat itu, gue tahu nama dia Alana. Dan sejak saat itu juga, kita jadi sering makan satu meja di warung Bu Rosi. Alana itu nyambung banget kalo gue ajak ngobrol, dia wawasannya luas. Apalagi selera buku dan musik kita sama. Lana jadi sering minta gue nemenin dia ke toko buku dan gue pun dengan senang hati mengiyakan.

"Den, menurut kamu, kenapa orang menulis?" tanya Lana waktu kita ada di antara rak novel-novel fiksi.

Gue berpikir sebentar. "Karena mereka ingin abadi?"

"Bisa jadi. Karena manusia akan pergi, cepat atau lambat, terencana atau tiba-tiba. Entah pergi ke belahan bumi yang lain atau pergi ke tempat yang nggak bisa kita jangkau lagi. Dan ketika mereka pergi, karya mereka masih akan tetap hidup dan diingat oleh siapapun yang membaca," balas Lana dengan wajah berserinya.

"Makanya Na, kita harus selalu menikmati detik demi detik yang ada. Karena kaya kata kamu tadi, manusia itu akan pergi. Cepat atau lambat. Dan ketika mereka pergi, waktu yang kita lewati sama orang itu cuma bakal tinggal dengan nama kenangan."

"Aku suka setiap bareng-bareng sama kamu. Rasanya aku punya teman yang benar-benar teman. Yang mau dengerin aku ngoceh soal buku, atau nanyain pertanyaan random kaya tadi. Kamu tuh orang pertama yang nggak ngatain aku aneh waktu aku kaya gini."

Gue terkekeh waktu itu, dan entah dengan dorongan apa, tiba-tiba keberanian gue muncul.

"Na?" Lana yang sedang membaca sinopsis novel menoleh.

"Jadi pacar aku mau nggak?"

Hening. Lima detik. Sepuluh detik. Gue deg-degan dan pengen merutuki kebodohan gue sendiri seandainya Lana nolak gue.

"Kenapa aku?" tanya Lana kemudian.
"Karena aku bisa jadi diri aku sendiri setiap sama kamu."
"Tapi aku takut, Den."
"Takut kenapa Na?"

Alana menghela nafas sebentar. Lalu mengajak gue duduk di kursi nggak jauh dari tempat kita tadi. Matanya menatap gue, tapi ada sorot khawatir yang terpancar di sana.

"Kenapa takut?"
"You say you love the rain, but you open your umbrella. You say you love---"

"the sun, but you find a shadow spot. This is why i am afraid when you say that you love me," ujar gue memotong sekaligus melanjutkan perkataan Alana. Kutipan dari William Shakespeare yang selalu gue suka sejak SMA.

Alana sedikit ternganga. Gue lalu terkekeh melihat ekspresinya.

"Alana Drianala, kalau itu yang lo takutkan, gue pun sama. Tapi gue mau kita sama-sama nyoba buat mengalahkan rasa takut itu. I'm not lying when I say that I love you. I really do."

"Tapi janji ya Den? Kalau sama-sama ternyata nggak bikin kita jadi lebih baik, kamu bilang ya?"

Gue mengangguk. Sejak hari itu, Alana jadi cewek yang selalu gue cari setiap ada apa-apa. Sejak hari itu, Alana jadi cewek yang gue kagumi untuk tiga tahun dan bahkan sampai sekarang, setelah sembilan tahun gue ketemu dia pertama kali.

Alana, how's life? Are you doing fine?

AbiphrayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang