11/10

51 10 1
                                    

Mendengar dari Katara kalau Aiden baik-baik aja, rasanya sangat melegakan. At least, dia punya pekerjaan dan hidup dengan baik. Gue bangga dia udah jadi arsitek sama kaya cita-citanya. Cita-cita terbesar Aiden, dia pengen melalui tangannya, ada banyak tempat menakjubkan yang bisa membuat manusia semakin nyaman tapi tetap mengabdi pada lingkungan. Aiden ingin setiap tempat punya cerita, bukan sebatas bangunan biasa yang bisa menghalau kita dari panas dan hujan. Aiden pengen setiap orang selalu rindu untuk pulang ke 'tempatnya'.

Sial, gue bahkan masih ingat dengan jelas semua itu.

Ternyata benar ya, manusia itu tidak akan pernah bisa benar-benar melupakan  seseorang. Sebaik apapun usahanya, semati apapun perasaannya, pada akhirnya siapapun yang pernah jadi bagian dalam cerita tetap akan dikenang selamanya. Meskipun selamanya pun juga cuma sementara.

Aiden, gue pengen banget ketemu lo saat ini. Gue pengen banget lo kembali lagi, sesuai dengan janji lo enam tahun lalu. I wish you were here, with me. You don't need to be perfect, cause I do love you just the way you are.

"Na, pulang kerja ngopi yuk?" ajak Reno, teman kerja gue di kantor.

Sebenarnya gue cukup sadar kalau Reno selalu berusaha deketin gue. Bukan karena gue kepedean atau gimana, tapi gue cukup peka untuk menerima semua kode-kode yang dia berikan. Maka dari itu, gue selalu bersikap sebiasa mungkin sama dia supaya dia tahu kalau gue udah memilih orang lain. Tapi nggak etis juga kalau gue tiba-tiba menjauh karena risih akan perlakuan dia, kan? Makanya gue tetap anggap dia teman yang baik. Toh Reno juga asyik diajak ngobrol soal isu-isu penting di Indonesia----obrolan favorit gue.

"Oke boleh deh, tapi gue ajak Lina ya?" Lina itu partner setim gue, masa ya berdua aja.

"Siap atur aja."

***


Pulang kerja, kita mampir di kedai kopi nggak jauh dari kantor. Sama kaya perjanjian, kita nggak cuma berdua. Gue bersyukur berhasil bujuk Lina yang awalnya bilang mau belanja. Sebagai gantinya, gue harus nemenin dia belanja pulang dari ngopi nanti. It's okay, meskipun gue nggak suka mall dan segala keramaian yang menyertainya

"Kalian mau pesan apa? Biar gue pesanin. Kalian cari tempat duduk aja."

"Gue robusta sama waffle," sahut Lina semangat.

"Gue cappucino latte aja."

Reno mengangguk lalu menuju tempat antrian.

***

Di dunia ini, apa lo percaya akan adanya sebuah kebetulan? Karena gue nggak percaya. Menurut gue, semua hal di dunia ini, sekecil apapun, memang sudah diatur sama Tuhan. Semesta seolah saling membahu untuk mengantarkan manusia pada suatu kejadian yang kebanyakan dari mereka menamainya sebagai kebetulan.

Dari skala satu sampai sepuluh, peluang gue untuk ketemu dengan Lana tanpa direncanakan mungkin ada di angka satu atau dua. Nyatanya, kemarin waktu di bandara, justru malah Katara yang ketemu dia. Padahal kita ada di tempat yang sama. Ya ampun, man! Nggak ada lima ratus meter dan gue tetap nggak ketemu Lana.

Tapi entah kenapa, hari ini gue juga nggak percaya kalau peluang gue bisa di angka sebelas. Perempuan itu, yang lagi duduk nggak jauh dari tempat gue, dengan cangkir yang udah gue tebak isinya cappucino latte, lagi ketawa sama dua temannya. Mungkin teman kantornya?

Dan jantung gue rasanya masih sama ternyata kaya waktu gue pertama kali jalan bareng sama dia. Rasanya kaya loncat-loncat. Yaampun ini gue udah seperempat abad lebih tapi masih aja kaya anak SMA.

Tapi dengan pecundangnya, gue malah ngumpet dan sebisa mungkin nggak terlihat oleh Lana. Gue belum siap. Jangan mengumpati gue karena gue emang benar-benar belum siap untuk saat ini. Liat dia ketawa aja rasanya udah kaya mau pingsan, apalagi kalau tatapan mata langsung sama dia.

Alana Drianala, tunggu sebentar lagi ya, sebentar lagi aja. Gue janji akan kembali secepatnya.

AbiphrayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang