Kembali

58 10 0
                                    

Meeting di Surabaya hari ini berjalan dengan lancar. Gue langsung pergi ke bandara karena harus pulang ke Jakarta hari itu juga. Ada banyak deadline di kantor yang belum gue selesaikan.

Gue nggak suka berada di bandara, karena bandara terlalu ramai buat gue. Dan ketika gue berada di tempat yang ramai, gue selalu merasa nggak nyaman. Meskipun orang bilang, bandara adalah tempat penuh momen karena di dalamnya ada ratusan pertemuan dan ratusan perpisahan, gue tetap nggak suka berada di sini. Memangnya siapa yang akan menyambut gue pulang? Atau memangnya siapa yang akan kehilangan kalau gue pergi?

Papa dan Mama terlalu sibuk mengurusi urusan pekerjaannya, membuat gue dari kecil kekurangan kasih sayang mereka. Orang-orang bilang gue bahagia karena bisa membeli apapun yang gue mau tanpa merengek minta tambahan uang jajan. Orang-orang berpikir, gue memiliki hidup yang sempurna karena nggak perlu takut kekurangan apapun. Gue punya uang, tapi uang nggak bisa membeli waktu. Hidup gue hampa, sama sekali nggak sempurna.

Gue nggak pengen uang yang banyak, gue cuma pengen kasih sayang dan waktu dari Mama dan Papa. Benar ya ternyata, semakin kaya seseorang, semakin sedikit waktu yang bisa dinikmati.

Mungkin ini alasannya kenapa gue lebih suka diam di rumah, bukan di tempat yang ramai kaya mall ataupun tempat wisata lainnya. Karena gue udah terbiasa sendiri, dan ketika berada di tempat yang ramai, gue justru merasa kesepian karena gue tetap sendiri di tempat seramai apapun.

"Alana?" ujar seseorang menepuk bahu gue.

Laki-laki tinggi dengan balutan kemeja cokelat susu dan celana hitam. Wajahnya tidak berubah banyak sejak terakhir kali kita ketemu.

"Alana kan?"
"Nggak usah sok nggak ngenalin gitu deh,  Tar." Gue terkekeh.

Katara Danuandra. Sahabat Aiden sejak dulu, dan menjadi teman dekat gue juga semenjak gue pacaran sama Aiden. Sayangnya, semenjak kita putus, gue juga jadi jarang kontakan sama Tara karena nggak pernah ketemu lagi.

"Kemana aja lo, astaga. Kenapa lo ikutan ngilang dari gue juga sih?" katanya merengek, membuat gue terkekeh lagi.
"Ya nggak kemana-mana, di Jakarta aja."
"Lo baik-baik aja kan, Na?"
"Hm..yaa..as you see. Am I okay enough to tell you that I'm okay?"

Gue pengen banget bertanya, apakah Aiden juga baik-baik aja? Dia sekarang kerja di mana? Apa dia udah lupain gue? Apa Aiden hidup dengan baik? Apa Aiden sudah bisa menerima dirinya sendiri?

"Aiden baik, kalo lo mau tahu. Dia sekarang jadi arsitek di tempat yang sama kaya gue," ujar Katara tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiran gue.

Gue cuma menghela nafas. Lalu menatap Katara dengan tatapan yang gue yakin teramat menyedihkan.

"Enam tahun nggak cukup ya Tar buat bikin dia cinta sama dirinya sendiri?"

Tara diam. Kita diam, nggak ada satu pun yang berbicara hingga akhirnya panggilan pesawat gue mau boarding terdengar.

"Gue duluan ya Tar. Oh iya, gue minta tolong sama lo, jangan kasih tahu Aiden kalo lo ketemu gue."

"Kenapa, Na?"

"Karena gue mau dia kembali karena keyakinan hatinya sendiri, bukan karena sebuah keharusan menepati janjinya ke gue."

Gue tersenyum, dan entah kenapa air mata gue jatuh gitu aja selama perjalanan menuju Jakarta. Ternyata, rindu seseorang memang bisa semenyakitkan ini. Apalagi kalau orang itu adalah orang yang lo bahkan nggak tahu dia akan kembali atau tetap memilih pergi.

***


"Den, kalo gue bilang gue barusan ketemu Alana lo percaya nggak?"

"Nggak," kata gue cepat. Gue kesel sama Katara, habis udah gue tungguin dari tadi dia nggak datang-datang. Untung kita nggak ketinggalan pesawat.

"Alana tambah cantik, man!"
"Jangan bohong cuma buat gue bahagia deh, Tar."
"Nih liat!"

Tara menunjukkan layar HP nya ke gue, membuat jantung gue langsung berdebar tiba-tiba.

Tara menunjukkan layar HP nya ke gue, membuat jantung gue langsung berdebar tiba-tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tadinya Lana bilang, gue nggak boleh ngasih tahu lo."

"Kenapa? Dia sebenci itu ya Tar sama gue sampai gue nggak boleh tahu?"

"Lana pengen lo balik. Dia bahkan nanya ke gue apakah enam tahun lo itu nggak cukup?"

"Gue...gue belum bisa Tar. Gue takut kalo gue nggak bisa bahagiain dia."

"Jangan jadi coward gini deh Den. Terus siapa? Lo mau cowok lain yang bahagiain dia? Lana nunggu lo, man! Elo yang dia tunggu buat pulang. Jangan jadi pengecut dan tepatin janji lo ke dia."

Gue diam, bergulat dengan isi kepala gue sendiri.

Apa gue sudah cukup baik untuk menepati janji gue?

AbiphrayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang