Two Hands

77 13 1
                                    

Dulu, setiap pergi sama Aiden, kita seringnya jalan kaki

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dulu, setiap pergi sama Aiden, kita seringnya jalan kaki. Bukan karena Aiden nggak punya kendaraan, tapi emang jalan kaki berdua tuh rasanya lebih nyaman. Sambil jalan, kita biasanya sering ngobrolin banyak hal. Ngomongin teman sekampus yang nyebelin, dosen yang galak, tugas anak arsitektur Aiden yang nggak kelar-kelar, dan banyak lagi.

Setiap mau nyebrang jalan, Aiden selalu gandeng tangan gue. Waktu gue tanya kenapa, Aiden cuma ketawa sambil bilang, "Nggak apa-apa, kalau bisa digandeng kenapa enggak?"

Gue menatap jalan raya dari meja kerja kantor sambil senyum miris. Gila ya, udah enam tahun tapi gue masih ingat apapun soal dia. Bahkan hal kecil sekalipun. Padahal, tahu kabarnya aja enggak. Dia tinggal dimana, sekarang dia kerja apa, apa dia sehat dan hidup dengan baik, pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul setiap gue sendirian. Sampai kadang gue mendefinisikan bahwa sendirian adalah sinonim dari mengenang gue dan Aiden.

"Lana, besok jangan lupa ada meeting sama klien ya. Bawa desain baju yang kemaren kamu buat," kata Bu Asha, atasan gue yang tiba-tiba nongol gitu aja.
"Siap, laksanakan!"

"Ngapain kamu bengong? Mikirin si Aden itu?"

"Aiden, Bu. Pake i."

Bu Asha terkekeh. Bu Asha emang human diary gue sejak dulu, terhitung 3 tahun sejak gue kerja di sini. Dia tahu hampir semua tentang gue dan Aiden. Dia tahu gimana sakitnya gue, dan dia pun tahu gimana terlukanya Aiden dengan semua insecurity miliknya.

"Udahlah, Na. Cari cowok baru kenapa? Kamu tuh baik, personality kamu bagus, apalagi mukamu membantu itu. Cowok mana yang nggak mau?" ujar Bu Asha setengah bercanda.

"Aku yakin Aiden bakal balik, Bu."
"Kalau dia nggak balik?"
"Ya aku tunggu sampai balik. Aiden bukan orang yang suka ingkar janji."
"Dasar keras kepala."

Gue cuma ketawa. Waktu Bu Asha pergi, pertanyaan-pertanyaan itu kembali lagi.

Apa Aiden beneran bakal balik lagi?

Apa Aiden lupa kalau dia pernah janji akan kembali ke gue?

Apa jangan-jangan Aiden udah bahagia sama orang lain di sana?

Why I am thinking of you when I know you're not thinking of me, Aiden Basundara?

***

Setiap kali nyebrang jalan, gue selalu inget Lana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Setiap kali nyebrang jalan, gue selalu inget Lana. Lucu ya, sebucin itu gue sampai nyebrang jalan aja ingatnya Lana.

Gue pengen kembali ke masa-masa itu, tapi sayangnya waktu nggak bisa diputar.

Gue pengen kembali ke masa di mana keluarga gue masih utuh. Gue pengen kembali ke masa di mana Papa masih terkenal sebagai politikus yang berwibawa, bukan seorang koruptor yang terjerat kasus lalu dipenjara. Gue pengen kembali ke masa ketika gue masih jadi anak kebanggaan Mama. Karena setidaknya, di masa itu, gue bisa nggenggam tangan Lana dengan lebih percaya diri daripada saat ini.

Keinginan gue sejak dulu adalah Lana bisa bahagia meskipun bukan gue yang jadi alasannya. Gue nggak mau Lana dicap jelek karena pacaran sama anak koruptor. Gue nggak mau Lana dengar omongan buruk orang-orang setiap kita jalan bareng. She deserves better. Someone who is better than me.

Udah lah, ngomongin Lana sama gue tuh nggak akan ada habisnya. Karena apapun soal Lana selalu pengen gue ceritain tanpa ada satu kata yang terlewat. Tapi sayang, proyek gue jauh lebih penting daripada galau saat ini. Bisa-bisa gue kena semprot Katara lagi kalau ketahuan belum kelar. Meskipun sahabat gue dari kuliah, kalau urusan kerjaan Katara emang profesional banget.

Quote favorit yang selalu Katara bilang, "lo jadi arsitek itu dibayar buat bantu orang-orang menciptakan tempat huni yang nyaman dan indah, bukan buat ngebucinin Lana waktu proyekan."

AbiphrayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang