MDP 3

207 52 56
                                    

.
.
.
.
.
Masih ada waktu seperempat jam lagi untuk makan malam, pikir Rohan. Kala itu, ia sedang berada di kamar mandi ruang tidurnya dan melihat dirinya dalam cermin. Kumis dan jenggot tipisnya dikiranya sudah terlalu banyak, hingga ia memutuskan untuk mencukurnya menggunakan pisau cukur juga krim mentol yang tadi sempat ia beli di supermarket ketika dalam perjalanan.

Sekiranya, tempat ini masih tidak ada perubahan. Masih berupa kamar mandi dengan cermin besar menempel di dinding juga wastafel dari batuan granit putih. Dulunya ia kesal lantaran perlengkapan ini terlalu luas bagi dirinya yang berumur sepuluh tahun, tapi kini, ia merasa benda-benda ini sudah semakin mengecil.

Matanya masih bisa melihat bekas sayatan di pojok cermin secara vertikal, begitu pendek, hingga mungkin tak akan terlihat. Sebenarnya itu adalah akibat dari kekesalannya lantaran ayah dan ibunya tak pernah menepati janji untuk menjemputnya dari rumah ini. Ah, begitu kekanakannya ia melampiaskan amarah pada sebuah benda.

Namun, ia juga jadi mengingat bila setelah itu Sanjana datang mengagetkan dirinya dan merasa senang sewaktu gadis itu berhasil melakukannya.

Rohan jadi menyukai berada di sini. Perbedaannya amat mencolok bila harus dijabarkan. Kasih sayang, kebersamaan juga petikaian-pertikaian kecil tak pernah ia temukan sekali pun di rumahnya sendiri. Merasa semua itu tak akan mungkin hadir dalam rumahnya yang besar namun menyimpan banyak jarak itu, Rohan memutuskan untuk berkunjung ke rumah ini setelah sekian lamanya berada di London menyelesaikan pendidikan.

Terdengar tiga kali ketukan di pintu, lalu panggilan menyusul setelahnya, "Rohan! Apa aku boleh masuk?"

Rohan tak perlu mengingat-ingat suara siapa itu, ia sudah terlalu hafal pada seluk beluk penghuni rumah ini. "Masuklah, Aaliya. Jangan sungkan, aku ada di dalam kamar mandi."

Buru-buru ia menyalakan kran air. Membasuh seluruh wajahnya terutama bagian rahangnya yang lancip. Handuk di dinding penyangga ditariknya lepas untuk mengeringkan bagian wajah.

"Apa kau sedang mandi? Aku mendengar bunyi pancuran mengalir." Aaliya sepertinya telah berada di kamar. Suaranya terdengar semakin jelas.

"Tidak, ini bunyi kran air. Aku baru saja bercukur."

"Kenapa kau harus melakukannya? Kau terlihat lebih dewasa dengan penampilan itu?"

Rohan tersenyum, tidak sedikit yang mengatakan bila ia pantas dengan kumis tipis juga janggut yang tipis. Dewasa, kepribadian kuat, serius. Meninggalkan wajah kecilnya yang polos. "Tidak, Aaliya. Tiba-tiba saja aku merasa takut dengan perubahan."

Sayangnya, suaranya yang sengaja lirih itu tidak sampai ke telinga Aaliya--terbukti gadis itu tidak menanggapi. Rohan menyingkap tirai kamar mandi untuk mencapai pintu. Ia sudah mengenakan celana denim dengan kaos tanpa lengan.

"Wah, apa aku harus terlambat untuk mengganti pakaian dulu?" Rohan telah melihat Aaliya rebahan di ranjang, gadis itu melihat langit-langit kamar.

"Lakukan saja sesukamu, tidak ada orang di ruang makan."

"Memangnya ke mana semua orang?" tanyanya, meskipun tahu sebagian jawaban dari pertanyaan itu.

Koper Rohan masih tergeletak di sofa santai, belum terbuka untuk dimasukkan ke dalam lemari. Saat Rohan membukanya, kebingungan kecil dirasakan ketika memilih antara menggunakan kemeja putih bergambar dedaunan atau kaos lengan panjang polos dengan kapucong coklat tua.

"Ibu sibuk di dapur tapi sudah berdandan, ayah sepertinya sedang sibuk memilih sabuk di lemari pakaian. Kurasa aku tadi mendengar ribut-ribut di ujung lorong, ku pikir itu Rajhna dan Sanjana yang baru pulang," jawaban Aaliya muncul ketika Rohan berada di depan cermin, sudah memutuskan tidak mengambil kedua pakaian itu. Rompi merah bata dengan dua kancing teratas yang akan dibiarkan terbuka hingga mencuatkan bulu dadanya yang tipis adalah seleranya.

Mera Dil Premee ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang