MDP 17

136 32 32
                                    

🎶Dil Ne Yeh Kaha Hain Dilse🎶

Sempatkan Vote 🌟 dan komen 😊
.
.
.
.
.
.

"Sanjana, apa kau bisa mendengarku?"

Samar-samar, suara itu terasa melayang-layang bagai sebuah kabut asap tipis yang tak bisa tergapai. Sanjana merasakan desahan napasnya menghangat, seperti ada sinar matahari yang langsung mengenai permukaan kulitnya yang tan. Tenggorokannya kering, bibirnya menutup atau pun terbuka terasa tak nyaman.

Ia sungguh tak ingat apa yang tadi ia lakukan, sekarang matanya yang memberatkan ini begitu tidak ingin terbuka. Dari tumitnya ia merasakan sebuah sentuhan dingin, merambat seperti sebuah sulur yang menyerang setiap pori-pori kulit. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada bantal sembari meringis kuat, hawa dingin atas sentuhan kakinya membuat seluruh tubuhnya mengigil.

"Munni." Pada satu kata itu, hawa panas atas udara disekitarnya sampai-sampai ingin mencekik. Sekarang, tenggorokannya pun ikut berulah seperti ada sesuatu yang tercekat didalamnya.

"Kau demam, apa kau bisa membuka matamu dan melihat aku?"

"Demam?"

"Dari mana saja kau?" pertanyaan itu tak pernah bisa membantu, hanya semakin memancing rasa sakit dalam hati Sanjana menyeruak ke luar.

"Apa kau tahu kami tadi kelimpungan mencarimu sampai ke seluruh kota?"

Butiran-butiran bening dalam matanya sungguh tak terbendung, rasa bersalah, rasa malu, rasanya ditolak seolah-olah telah menjadi satu. Bahkan saat matanya setengah terbuka, bibirnya jadi ikut bergetar hebat. Baru disadarinya bahwa kini ia sedang terisak. "Aku tidak tahu."

"Sudahlah, sudah," kata Munni. Disusul oleh sebuah sapuan hangat di area dahinya yang tertutup poni. "Jangan menangis! kau mengatakan sendiri bila kau sudah dewasa. Jangan buat aku menyesal telah percaya bahwa itu adalah sungguhan."

Dalam satu tarikan napas keras yang Sanjana lakukan, ada sebuah rasa hangat yang mengalir melalui lubang hidung. Tetap tak bisa. Seberapa pun berusaha untuk tidak lemah, demam ini membuatnya tampak menjadi seorang pembohong ulung. Sanjana tetap saja menangis, menggigil, tanpa sadar ingin sekali bertemu dengan sang ibu.

"Rohan sedang memanggil dokter, bertahanlah sebentar lagi!"

Dadanya sesak, bibirnya tertarik ke bawah mendengar nama itu melayang. Ia bahkan tanpa sadar memendam keinginan menangis lebih keras, namun ternyata tak mampu. Rohan, sudah menguasai seluruh akal pikiran sampai-sampai tak membiarkan kewarasan tinggal sedikit pun. Sanjana baru ingat bila tadi setelah terlunta-lunta dijalan ia malah berakhir menangis dikamar mandi sembari membiarkan kran air mengguyur tubuhnya yang sudah kedinginan. Alhasil beginilah hasil dari kebodohan diambang batas yang terlanjur ia lakukan.

Munni melihat itu sebagai bentuk ketidakberdayaan tingkat atas, setelah lelah mencari di jalanan bahkan ke tempat syuting sekali pun, kekhawatiran yang memuncak mengatakan untuk mencari Sanjana di kamar hotel mereka. Dan ia bahkan tak sanggup mengatakan rasa syukur apa lagi ketika menemukan gadis itu meringkuk di ranjang dengan lampu masih menyala. Rohan sama halnya dengan dirinya, dipenuhi rasa bersalah, takut-takut pada keluguan Sanjana yang mana dapat melakukan sesuatu yang membahayakan meski tak sengaja sekali pun.

"Apa Rohan tadi ada di sini?" tanya Sanjana memecah kesunyian. Jemarinya diam-diam mengusap sudut matanya yang berair. "Apa teman kencannya juga ikut datang ke mari?"

Sebagai teman dari kedua manusia yang saling membohongi diri itu, Munni tersenyum tulus. "Teman kencannya sudah diusirnya menjauh setelah menyadari kau tiba-tiba hilang. Lalu dia mencarimu, ke segala tempat. Dari mulai tempat ini yang mulanya tak menemukanmu lalu menjelajajahi jalanan ke cafe kalau-kalau kau masih dalam perjalanan. Dia tetap tak menemukanmu, tapi tetap saja tak berhenti untuk bisa menemukanmu." Munni berhenti sebentar untuk melihat reaksi Sanjana. Selimut yang baru saja ia pakaian menutupi gadis itu membuatnya hanya bisa mengira-ngira bila Sanjana sedang terkejut.

Mera Dil Premee ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang