MDP 21

138 18 23
                                    

.
.
.
.
.

"Biarkan aku yang mengikat selendangnya, aku pandai mengenai ikat mengikat."

Sanjana tersentak atas gaya bercanda Rohan yang mengingatkannya atas apa yang sempat mereka lakukan di kamar. Ditambah ekspresi pemuda itu yang mengedipkan sebelah matanya diam-diam di antara semua orang, ia tahu niat pemuda itu memang sengaja untuk menggoda dirinya, bahkan dengan alasan pasti, ia sendiri telah terperangkap dalam godaan tersebut; wajahnya memerah sempurna di balik punggung sang ayah yang mengizinkan Rohan melakukan ide itu.

"Ikat yang kencang, Rohan!" seru Raman. "Semakin kencang kau mengikat, semakin kuat ikatan cinta antara mereka."

Dengan semangat pula, Rohan menanggapi, sembari menyombongkan diri, "serahkan padaku."

Mereka semua berada di Mandap mendampingi kedua pengantin menerima doa-doa suci dari pendeta. Kilasan upacara adat ditambah musik-musik yang tak berhenti mengalun menghantarkan emosi haru. Raman sesekali terhanyut, dalam lamunan sendu ketika detik-detik itu semakin menjauhkan dari sang putri pertama, tapi Lalit selalu berada di sisinya menguatkan dengan kelakaran khas yang hanya bisa mereka mengerti. Ibu Rohan semenjak tadi tak lepas mendampingi Rukmini kemana pun, saling bahu membahu menerima tamu serta mengawasi jalannya pesta untuk tidak kekurangan apa pun.

Hingga tiba saat upacara janji suci kedua pengantin mengelilingi api suci tujuh putaran, mereka berdiri saling berjajar mengabadikan momen indah itu dengan memberikan hujan bunga.

"Aku akan membunuhmu," bisik Sanjana garang, tepat saat Rohan telah mendekat.

Tidak terpengaruh oleh ancaman, pemuda itu malah tak berhenti tersenyum sumringah. "Aku ragu kau akan melakukannya. Kupikir kau akan menciumku sampai lipstikmu sepenuhnya menempel di bibirku."

"Kau memang nakal."

Taburan bunga yang seharusnya diperuntukkan bagi kedua pengantin nyatanya tak sepenuhnya harus terjadi, Rohan lebih sering menaburkan bunga di atas kepala Sanjana. Menghujani dengan berbagai macam cinta lewat perhatian juga ucapan-ucapan nakalnya. Sang gadis semula melotot marah, serta cemberut. Tapi Rohan tak sekali pun gentar melakukan apa yang dimaui hingga gadis itu menyerah untuk membalas seperti apa yang Rohan lakukan.

Hubungan mereka tak ubahnya seperti sebuah keajaiban di tengah kekeluargaan yang rumit. Rohan bukan bagian dari Chaturvedy namun berandai-andai menjadi Chaturvedy sejati. Pemuda itu sejujurnya adalah seorang Kumar yang berkuasa, yang tidak mengenal rasa takut serta kepercayaan diri sangat tinggi. Pengecualian tak ada kesombongan yang melekat hingga kini pemuda itu diterima baik menjadi bagian dari anggota keluarga.

Aaliya seringkali berbisik-bisik pada Rohan, namun kali ini Sanjana tak sedikit pun merasa keberatan. Hanya saja ia tetap penasaran. Lalu dengan tangan terbuka sang kekasih akan selalu menceritakan apa pun padanya dari ujung ke ujung sampai detail-detailnya. "Kakakmu sudah berandai-andai mendapatkan pernikahan seperti ini. Kurasa dia sudah punya seseorang kekasih."

"Dia akan lulus sebentar lagi."

"Tidak ada larangan menjalin hubungan sebelum lulus, bagian dari kebutuhan manusiawi setiap manusia membutuhkan balasan bagi cinta untuk kemudian memberikan wujud yang sama. Dan lagi, ayahmu tidak mengatakan apa pun."

"Aku belum membahas apa pun dengan mereka, hal pribadi selama ini selalu kusimpan sendiri. Kurasa ini bukan waktu yang tepat."

Mera Dil Premee ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang