Ending

219 13 13
                                    

Vote⭐+ Komen Bawel
Wajib.....
Kritik / Saran untuk cerita ini diterima dengan baik, jadi jangan ragu buat keluarin unek²/ menunjukkan letak kesalahan dalam penulisan cerita ini.
.
.
.
.
.
.
.

Angin malam belum sepenuhnya pergi meskipun sinar kekuningan mulai tampak naik perlahan-lahan. Kedinginan masih terasa sampai tubuh di kuil kecil dimana Sanjana menunggu sendirian. Gadis itu duduk, menekuk lutut di pojok pagar yang menghadap halaman seraya bertanya-tanya apa yang mungkin harus dilakukannya sembari menunggu Rohan kembali.

Sadar sedang dipandang oleh patung dewa Wisnu yang tersenyum sembari membawa suling kesayangannya, dan ia juga balas memandang dengan senyuman yang sama. Ini masih terlalu pagi untuk kebanyakan orang yang harus singgah di kuil, itu keuntungannya sendirian berada di sini, menjadi yang pertama, memanjatkan doa untuk hari ini.

Sanjana mulai bisa membayangkan akan adanya api suci di tengah-tengah kuil serta doa-doa pernikahan yang dipanjatkan oleh pendeta. Ia di sana, memakai pakaian biasa namun tertutup oleh selendang pernikahan warna merah yang dijanjikan akan didapatkan Rohan di pasar terdekat yang bisa pemuda itu temukan.

Dan, tidak mudah baginnya untuk menutupi seberapa bahagianya saat ini.

Andai saat ini mereka sedang tidak tertimpa masalah, mungkin ia bisa berbagi kebahagiannya dengan berbagai macam emosi kepada setiap orang yang barangkali bakal ditemuinya di kamar rias. Sekali lagi Sanjana tersenyum, mengakui kebahagiaan kecil itu tampak begitu nyata.

Sebenarnya ia bisa berbagi dengan kedua orangtuanya, apalagi terhadap ibunya yang baru disadari sangat mendukung apa yang menjadi keegoisannya dengan Rohan. Karena selama ini Sanjana menganggap bila sang ibu sulit sekali untuk bisa mengerti dirinya, Sanjana tak pernah bisa membagi apa yang ia alami kepada ibunya itu. Betapa Sanjana sungguh buta. Kini, ia mengakui bahwa dirinya sendiri yang bersikap konyol atas pemikiran itu.

Ibunya tetaplah ibunya. Wanita yang memberikan banyak petuah yang meskipun terkadang menjengkelkan tapi itu untuk bekal dirinya sendiri. Emosinya yang meledak-ledak kadang tak pernah sesuai dengan gambaran yang diinginkan, tapi, sebenarnya harus ia akui semua itu adalah untuk membuatnya bisa mandiri menghadapi kehidupan.

Ah, betapa rindunya. Padahal baru semalam suntuk Sanjana pergi namun rasa ingin bertemu untuk mengatakan betapa rasa sayangnya tak pernah luntur pada kedua orangtuanya tiba-tiba saja hadir kembali.

Tapi, hey! Ini hari pernikahannya. Sanjana punya alasan serius untuk mengabarkan pada mereka bila ia dan Rohan sudah mulai mengambil langkah lagi. Mereka berhak tahu. Namun, tetap harus hati-hati Sanjana mengabarkan berita itu.

"Rohan pasti tidak akan keberatan aku meminjam smartphonenya."

Sanjana menggeledah satu-satunya ransel kecil yang Rohan bawa dalam pelarian mereka ini. Dalam ransel itu berisi beberapa uang tunai, dompet beserta kartu kredit juga surat-surat berharga semacam paspor dan SIM. Sayang sekali bukan itu yang Sanjana cari. Oh, ada juga jam tangan Rohan yang seingatnya adalah hadiah ulang tahun dari Raman ketika Rohan berusia delapan belas tahun. Cukup sedih gadis itu memikirkannya, nyatanya Rohan sama seperti dirinya tak bisa lepas dari bayang-bayang Rukmini dan Raman.

Selang beberapa detik, Sanjana menemukan benda itu berada di ruang paling dasar. Ada keheranan dalam benaknya ketika menemukan benda pintar itu dalam keadaan terpisah dengan baterainya. Rohan pasti sedang sangat terburu-buru hingga benda apapun yang masuk dalam ransel itu dalam keadaan ala kadarnya. "Dasar, berantakan sekali."

* * *

Tahu-tahu sudah dua jam lebih Rohan berkeliling kampung mengendarai motornya sembari mencari apa-apa yang dibutuhkan dalam sebuah pernikahan.
Ini adalah hal baru, juga mungkin hal yang bahkan tidak banyak orang akan mau melakukan. Rohan bisa bertindak kritis bila sangat diperlukan dan itu adalah bagaimana ia menyikapi untuk sesuatu yang terjadi saat ini.

Mera Dil Premee ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang