MDP 4

197 50 41
                                    

.
.
.
.
.
Dhruv Rathore datang ke gazebo taman belakang rumah untuk menghadiri undangan makan malam bersama anggota keluarga Chaturvedi juga Kumar. Pemuda itu datang bersama Rohan, memberikan salam dengan tangkupan kedua tangannya lalu memilih tempat duduk di sebelah kiri tepat di sebelah Lalit Kumar--ayah Rohan--duduk.

Mulanya, Sanjana tak mengerti mengapa ibunya harus menyiapkan makan malam di luar daripada di dalam rumah. Melihat bagaimana taman itu tampak lebih baik; dengan lampu-lampu kecil mengelilingi atap juga bunga mawar segar di dalam vas. Ia jadi tahu bahwa itu adalah nuansa penyambutan spesial atas campur tangan dari ayahnya.

Hidanganya tampak mewah, ada sebotol whiski di atas meja bersama pita menghiasi leher namun tak tersentuh sama sekali. Ayahnya pasti juga yang mengatur itu semua, batin Sanjana mengatakan. Bila selama ini kami bahkan tak pernah melihat benda itu dibiarkan masuk di kulkas dapur bagaimana mungkin sekarang malah terpajang di atas meja?

Ia bisa saja ikut berisik bersama kakaknya atau menanggapi pembicaraan kecil yang tidak ia mengerti, mulutnya cukup lihai untuk sekedar ikut campur tapi mungkin tingkah lakunya kini lebih terlihat kalem dari biasanya.

Melihat wajah baru itu sedang tertawa-tawa, Sanjana terdiam tanpa suara. Wajah itu memanjang bersama potongan rambut belah pinggir sisir ke kanan, hidungnya mancung meneduhkan bentuk bibirnya yang tipis. Matanya sedikit sipit, tapi pandangannya sama tajam dengan pisau roti.

Injakan pelan pada kaki kirinya membuat Sanjana menoleh. Dilihatnya, Rohan memandang cukup geram. "Dilarang menikung saudara sendiri. Kendalikan matamu!"

Sanjana jadi cemberut. Baru ingat bila tadi ia sempat kesal lantaran Rohan menyerobot tempat duduknya tanpa merasa bersalah sedikit pun. Dekat dengan Raman, Sanjana sekali lagi harus menurut.

Mereka kini malah harus duduk berdampingan.

Meskipun sangat tidak ingin terlibat satu pembicaraan saja dengan Rohan, Sanjana merasa harus menyerah untuk kali ini saja. "Adakah kau mengenal pemuda lain seperti itu? Bawakan satu untukku, aku ingin mengenalnya."

Menahan tawa atau mendengkus, Sanjana tahu bila itu adalah sebuah ejekan lagi. "Jangan kecentilan, kau terlihat memuakkan."

"Apa salahnya? Ini hidupku. Bila aku berada di posisi Rajhna saat ini, tanpa harus melakukan usaha pendekatan apapun, aku akan mengatakan bersedia untuk mengitari api suci bersama pria itu."

Rohan menekan sendoknya lebih kuat hingga mengundang tatapan bertanya para orang tua. "Ada apa, Rohan? Kau sudah tidak berminat pada Kofta?"

Pria itu tersentak, Rukmini memergokinya terlalu mengumbar sebuah kekesalan. Sanjana juga beralih menatapnya sembari mengangkat alis.

"Oh, tidak, Bibi Rukmini," jawabnya, sebisa mungkin menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Aku hanya sedikit ada perdebatan dengan Sanjana," kini si ibu beralih menatap Sanjana seraya mengerutkan dahi, gadis itu membalas dengan senyum terpaksa.

"Kami sedikit berselisih paham tentang udara malam ini," tambah Rohan mengangkat sendoknya.

"Benar begitu, Sanjana?"

Sepatu Sanjana lebih dulu menginjak kaki Rohan, berpikir kenapa namanya harus ikut terbawa. Rohan yang bertindak, tapi sang ibu memandangnya dengan intens. "Iya, seperti itulah yang kurasa. Rohan tetap tak pernah setuju dengan apa yang aku katakan."

"Bukan berarti harus ikut terbawa ke meja makan, bukan?"

"Bukankah mereka sangat lucu, Ibu?" Rajhna mengambil suara dari tempatnya yang agak jauh. Dengan senyuman yang meyakinkan. "Mereka tetap tak pernah berubah meski sudah beranjak dewasa. Pertengkaran konyol itu masih ada meski keduanya sudah kepala dua."

Mera Dil Premee ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang