MDP 22

121 15 7
                                    


.
.
.
.
.
.

Masih belum menyerah, gadis itu menekan tuts piano lebih kencang hingga bunyi melodi E memekik ke seluruh ruangan. Selanjutnya, ia menekan not D# lalu kembali pada not E kemudian melompat lagi pada not D#. Dua kali itu menghasilkan nada seimbang, iramanya mulai menyerbu ke dalam pola pikir yang sengaja ia bangun dan ia cukup merasa senang untuk memulai kembali dari awal. Rasanya semua sudah sesuai, pembukaan lagu itu telah lebih dari cukup menjadikan jari-jarinya lemah gemulai. Ia memutuskan untuk berhenti satu menit, menarik napas dalam lalu mengeluarkan perlahan. Sedikit demi sedikit, dorongan naluri membuat jemarinya secara lancar menekan tuts E, B, D, C, A dan seterusnya sembari menutup matanya erat-erat.

Für Elise sudah mengalun indah. Membawa pada nuansa cinta untuk seorang terkasih yang telah membawa sekeping hati untuk tidak menyisakan secuil pun bagi pemilik raga. Kosong, rindu, tiada daya ketika hanya tubuh tak berjiwa dibiarkan mencari jalan. Apa yang mesti didapat tak akan mampu terpikirkan, pula hati yang melalang jauh membawa kembali sebuah angan-angan yang tiap detik semakin bertambah besar.

Cinta ini hanya untukmu. Bisakah mulut berkata itu secara mudah kala dia sang pencuri hati berada di depan mata? Lidah tak bertulang bahkan tak bisa menjawab secara gamblang.

Kecepatan jari itu semakin gesit, bak sebuah badai berjalan cepat tanpa memikirkan kehidupan akan rusak hingga menyisakan puing-puing tak berguna. Mata yang tertutup masih saja enggan terbuka seiring harapan itu belum tercapai seluruhnya.

Namun, ketika tiba saat berada di akhir lagu, ia mendapatkan tantangan sendiri atas kepuasan lahiriah menjadikan sesuatu dengan lebih baik. Ia menambahkan pengulangan dalam notasi F dan E. Ia mendapatkan ketenangan, pun perasaan meluap-luap karena tenang. Dan demi sempurnanya lagu itu, notasi C dan B telah berhasil mengakhiri ungkapan hatinya secara sempurna.

"Putriku memang tak pernah mengecewakan." Pujian itu diungkapkan bersama tepukan tangan yang tak ada habisnya, bersama tarikan pada kedua sudut bibir hingga susunan gigi itu mengungkapkan kebahagiaan tiada tara seperti apa yang dikatakan psikolog wajah.

Padahal, sungguh yakin ini bukan kali pertama ia ditemukan bermain piano bersama karya Bethoven hingga nalurinya mengatakan pria itu datang bukan untuk sebuah keramahtamahan semata. "Ini bukan sesuatu yang mesti harus dilebih-lebihkan, Ayah." Jengah. Memandang sesaat untuk kemudian menyapukan jari pada tuts piano. "Apa kebijakan yang kuusulkan diterima oleh semua bagian divisi perusahaan? Sebenarnya hanya itu yang ingin aku dengar."

Vijay Khanna tersenyum geli, mengambil tempat berdiri di samping piano. Sebelah tangannya disandarkan di atas alat musik melodis itu sedang pria itu merendahkan kepala berbisik lirih, "sedang diusahakan sesuai apa yang kau inginkan. Tapi, sungguh sayang bukan itu tujuanku datang."

"Kalau begitu, Maaf." Gadis itu segera membuang muka. Menjauh beberapa sentimeter memposisikan jari berada dalam notasi tinggi, sama sekali tidak tertarik membahas lebih lanjut apa yang sedang ayahnya akan bicarakan. "Aku sedang ingin lebih lama menenangkan diri. Apa pun itu kita bisa membahasnya nanti bersama kolega yang lain."

Lantas, senyum Vijay masih saja tidak surut, malah pria itu sesekali menganggukkan kepala. "Aku sama sekali tak pernah meragukan kemampuanmu dalam mengelola perusahaan. Kau selalu bisa mengendalikan beberapa pabrik dengan sekali jalan bahkan meskipun saat itu kau masih menempuh pendidikan. Alhasil, harga saham kita tetap stabil di tengah kacaunya isu-isu politik di antara negara berkembang. Aku berterima kasih untuk hal itu."

Gadis itu menyadari bila sang ayah sedang memberikan tekanan, mengungkapkan secara halus bahwa sesuatu itu akan menjadi sebuah tawaran menjanjikan. Ia mengangkat kedua alis, memandang lebih serius. "Jadi, apa yang kau inginkan?"

Mera Dil Premee ✓ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang