Atmosfer kelas sangat hening karena ulangan fisika dadakan yang diadakan Pak Rendi begitu memusingkan murid kelas XI-I. Kursi satu dengan yang lainnya di pisahkan dan Pak Rendi tak segan mengacak tempat duduk mereka. Naisa dan Ayla duduk berjauhan, Naisa tepat di depan meja guru dan Ayla di baris paling belakang deretan ke empat.
Beberapa siswa tampak sudah menyerah, beberapa lagi frustrasi. Sudah dadakan, nyiksa pula. Ayla sendiri anteng mengerjakannya karena ia memang bisa.
"Pssst psst oi.." suara bisikan yang bersumber dari belakang membuyarkan fokus Ayla, namun ia tetap menuliskan rumus pada kertas jawaban.
"Apa?"
"Nanti anterin gua pulang, dong."
Cewek itu menautkan alisnya heran, semua teman yang memanggilnya meminta jawaban, yang ini kenapa minta diantar pulang? "Pulang sendiri sana punya kaki, 'kan?"
"Enggak,"
"Hah?"
Tunggu, Ayla baru ingat bahwa ia duduk di baris paling belakang dan berada di pojok. Lalu siapa yang ada di belakangnya?
"Ayla?"
"Innanilahi," gumam Ayla pelan ketika melihat sosok siswa tanpa kedua kaki dan kepala hampir putus sedang membawa sebuah gir di tangannya. Ayla memijat dahinya dan menghela napas, "pergi sono gak usah ganggu gua."
"Gua Kevan,"
"Pergi,"
"Bantu cariin kaki gua dulu,"
Cewek itu tak menggubris sambil tetap menulis jawabannya, sebisa mungkin ia mengabaikan makhluk menyebalkan bernama Kevan yang sekarang menembus meja.
Kevan lalu mengambil pulpen Ayla tanpa menyentuhnya, membuat Ayla memutar bola matanya malas, ia memanggil siapapun temannya untuk meminjam pulpen namun tidak ada yang menoleh.
"Percuma, nggak ada yang bisa denger suara lu sekarang,"
Cewek itu berdecak kesal. "Sombong lu setan. Sini balikin,"
"Bantu cariin kaki gua tapi,"
"Gak."
"Ya udah gua masukin temen lo," Kevan memutar-mutar gir nya dan menyeringai.
"Terserah, gua nggak peduli."
"Oh, gitu," katanya lalu menunjuk Naisa yang sedang serius mengerjakan ulangan, "kalo yang itu peduli, nggak?"
Ayla mendesis marah, "jangan coba-coba sentuh dia."
"Jadi intinya mau bantu apa nggak?"
Ayla bimbang, Naisa gampang kesurupan dan kalau kesurupan menyusahkan satu kampung, Ayla tidak mau ini terjadi. Ia mendelik pada Kevan yang menaik-turunkan alisnya. "Oke, tapi ubah dulu wujud lu, nggak jelas banget tau."
"Gampang!" Kevan menjentikkan jarinya, lalu sepersekon kemudian mengubah wujudnya persis seperti saat ia masih hidup. Cowok itu melompat girang sambil bersenandung. "Yeay Ayla mau bantu!"
"Bacot!"
"Ayla!" Seru Pak Rendi marah, "saya daritadi bicara sama kamu dan kamu malah ngatain saya bacot?!"
Ayla menaikkan sebelah alisnya dan melihat semua siswa termasuk Naisa sedang menatapnya heran.
"Au lu, tadi manggil gua sama Reza tapi jawabnya nggak jadi," celetuk Cheo malas, namun tersirat rasa penasaran yang besar di matanya.
"Aduh, anu, Pak—"
"Anu-anu! Saya akan beri kamu soal tambahan dan waktu yang tersisa hanya sepuluh menit."
Ayla menatap Kevan kesal, ini pasti karena ilusi yang makhluk itu buat.
-
"Jadi, lu ngapa?" Tanya Naisa pada akhirnya.
"Berisik anjir gua pusing ama soal tadi mana banyak banget bangsat emang,"
Cewek itu tertawa renyah mendengar respons yang diberikan Ayla, "gece ah gua penasaran pea,"
"Bacot." Ayla memutar bola matanya lalu dengan segan menceritakan kejadian tentang Kevan yang meminta bantuan kepadanya beberapa waktu sebelumnya. "Ah laper, gua mau ke kantin,"
Ayla beranjak dari duduknya setelah memasukkan asal pulpennya ke dalam tas, ia keluar kelas dibuntuti oleh Naisa.
"Jadi, kita harus bantuin dia nyari kakinya?"
"Lu aja kali gua nggak," sanggah Ayla sambil menyelak antrean paling depan dan langsung menyebutkan pesanan pada Bu Dewi—se porsi seblak super pedas dan es teh paling manis yang bisa menjangkit diabetes. Naisa sedikit terdorong oleh orang-orang yang marah karena antreannya di selak oleh Ayla, namun ia dapat menyeimbangkan tubuhnya.
"Gila lu ya?!"
"Emang gila." Naisa melihat Ayla membawa makanan dengan asap yang mengepul dan minumannya tanpa nampan, mereka lagi-lagi menerobos keluar antrean tanpa menyadari ada yang berlari ke arah mereka hingga terjadi persinggungan keras dan—
—PRANG!!
Laki-laki yang menabrak Ayla mengerang marah ketika mangkuk yang dipegangnya jatuh sekaligus pecah, sebagian isinya terciprat mengenai seragam putih abu milik kakak kelas itu. "WOI PUNYA MATA GAK LU?!"
Sementara Ayla mendengus menahan emosinya yang sudah bergejolak di ubun-ubun. Melayang sudah dua puluh ribunya. "Kalo mau lari liat-liat dulu makanya," katanya tenang kemudian melangkah melewati cowok itu tanpa mengindahkan ekspresi tidak terimanya.
"Tanggung jawab, anjing!" Cowok itu berteriak lantang, kantin yang tadinya ramai mendadak sepi karena insiden tadi. "Lu gak punya attitude apa gimana sampe nggak ngerti cara minta maaf dan malah maen pergi aja?"
Hanya Naisa yang menoleh, sedangkan Ayla menulikan telinganya sampai cowok bername-tag Aldeno itu benar-benar geram.
"Woi lu beneran budeg atau takut?"
"Orang tua lu kemana?" Emosi Alden kian meledak-ledak. "Nggak pernah diajarin sama mereka?"
"Gak punya orang tua sampe anaknya jadi nggak terdidik gini?"
Ayla kini menghentikan langkahnya, berbalik menuju cowok itu dan menghampirinya dengan langkah yang cepat. Tatapan dinginnya menghunus retina mata Alden yang sekarang menyeringai puas karena telah berhasil memancing emosi Ayla.
"Ngomong apa lu barusan?"
"Nggak," balas Alden santai. "Lu Yatim-Piatu, ya?"
BUGH!!
Tanpa semuanya sangka, Ayla memukul wajah Alden tepat di hidungnya. "Lu sadar gak kalo tingkah lu ini nggak terlihat keren sama sekali?" Ia menatap cowok itu dengan tatapan yang sulit dimengerti.
"Mulut lu kayak cewek, mending maen barbie sama adek gua."
-
—caxraa

KAMU SEDANG MEMBACA
IRRÉELS
Teen Fictionilusi; ketika sesuatu yang nyata menampar mereka dengan hal yang dianggap tabu. 48% based on true story Start: April 04th - 2019