1 Amethyst 1016, dini hari (01/02/16)
Gadis itu mencoba memejamkan matanya.
Lelap tak kunjung datang juga. Pening memenuhi kepalanya, tapi matanya menolak untuk menutup. Ini adalah siksaan terburuk yang bisa kau alami, ketika kau gagal menjangkau tidur meski telah berusaha keras. Kutukan, mungkin. Kutukan yang mengerikan.
Tubuhnya bergerak-gerak di atas tempat tidur mencari posisi ternyaman. Malam sudah jatuh, darahnya yang gelap mengalir di langit, mengubahnya menjadi ketiadaan. Manusia tidur pada waktu malam, lalu bangun di fajar hari untuk bekerja. Itulah siklus kehidupan. Bagaimana pun, dia gagal. Dalam hidup. Bahkan tidur pun menolak untuk mendatanginya.
Mimpi buruk mengganggu pikirannya, suatu penyakit tanpa obat. Kadang dia bermimpi tentang keluarganya—tentang kakak perempuannya atau bayangan orangtuanya yang sudah samar-samar. Kadang dia bermimpi tentang masa depan—ketidakyakinan yang menjulang di hadapannya, seperti ombak yang menjungkirbalikkan kapal.
Seluruh mimpi buruk itu membuatnya merasa takut. Bayangannya berulang-ulang, mimpi yang sama, membuatnya merasa mimpi itu adalah kenyataan dalam hidupnya. Dia ketakutan semuanya itu akan terjadi.
Ruangannya yang kecil seolah mencekiknya, membuatnya merasa kehabisan napas. Gelisah. Dia sangat ingin menggapai lelap yang tenang, tapi bagaimana caranya? Setiap kali dia menutup mata, dia dihantui oleh masa lalu dan masa depan bersamaan. Pilu memenuhi dadanya dan dia sangat ingin menangis.
Dia hanya seorang gadis biasa dari desa yang biasa. Yatim-piatu di awal masa remajanya, tapi waktu itu masih ada kakak yang menjaganya. Dulu. Sekarang, dia sendiri, tanpa keluarga dan tanpa teman. Dia memang terbiasa sendiri dalam diam, menutupi seluruh perasaannya rapat-rapat.
Sejak kecil, tubuhnya tidak terlalu kuat. Dia tidak bisa dibandingkan dengan kakaknya yang sempurna karena dirinya tidak punya kemampuan. Kakaknya Alize masuk ke sekolah ksatria dengan beasiswa penuh, tapi dirinya—masuk sekolah ksatria pun dia tidak dapat karena dia tidak memiliki kesanggupan yang diperlukan. Bahkan akademisnya pun juga hanya rata-rata.
Elisa menarik napas, menenangkan dirinya sendiri sambil menyentuh liontin yang terkalungkan di lehernya. Ibunya memberikan liontin biru ini padanya, bukan kakaknya. Ibunya bilang dia harus menjaganya baik-baik.
Batu aneh kebiruan yang menjadi liontin kalung itu terasa dingin di tangannya.
Napasnya terhela lagi.
Kakaknya sudah pergi bahkan tanpa tubuh yang bisa dimakamkan. Perang, perang, selalu saja perang. Ayahnya terluka parah akibat perang pertama dan meninggal setahun kemudian meski ibunya sudah mengerahkan semua upaya untuk menyembuhkannya. Kakaknya juga.
Elisa mengingat mimpi-mimpi aneh yang dialaminya sebelum kakaknya berangkat berperang. Firasatnya sudah buruk dan dia sudah memohon-mohon agar kakaknya tidak pergi, tapi Alize hanya tersenyum dan mengelus rambutnya. Ini alasan lainnya mengapa dia sangat takut akan mimpi buruk. Seluruh hal yang dimimpikannya pada akhirnya terjadi...
Semua ini tidak akan terjadi jika ibunya tidak meninggal tiba-tiba. Penyakit yang aneh, kata tabib di desanya. Mereka telah menjual seluruh harta benda demi mencari tabib, tapi tidak ada yang bisa menyembuhkannya.
Sesudah memakamkan ibu mereka, keduanya termangu menyadari mereka sudah tidak memiliki rumah. Seluruhnya sudah dijual demi kesembuhan ibunya yang tidak tercapai.
Keluarga ayahnya entah ada dimana, tapi keluarga ibunya ada di ibu kota, kata kakaknya. Jadi berangkatlah mereka, berjalan dengan kaki menuju Kota Naveland. Tapi ketika tiba di sana, keluarga ibunya yang bangsawan itu menolak untuk menampung mereka berdua. Katanya, ibunya sudah memutus segala hubungan dari keluarga Kylo saat menikahi ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forewood Kingdom: Stone of Moon [3]
FantasyHidup tenang sebagai pelayan kerajaan merupakan kebahagiaan bagi Elisa Venelope Darkbrown. Bahkan meski kakaknya, Alize, sudah tewas dalam perang tanpa menyisakan tubuh untuk dikuburkan. Tapi ketenangan itu harus berakhir saat salah seseorang - atau...