Part 8

9.1K 290 8
                                    

Selesai sholat, Aina membuka lemari pakaian, mengambil gaun untuk dipakai malam ini. Mata dan mulutnya terbuka lebar saat mendapati gamis pesta itu robek memanjang dari atas ke bawah.

Gadis belia itu tak habis pikir, siang tadi baju ini masih utuh. Kaget, sedih, campur bingung membuat tubuh bergetar, lutut melemas. Bulir bening mulai berjatuhan mengingat acaranya tinggal dua jam lagi.

Aina mencoba mencari gaun-gaun lain yang mungkin pantas dipakai. Hasilnya nihil, hanya punya satu gaun pesta yang dibeli bersama Metta. Selebihnya pakaian sehari-hari. Degup jantung kian mengencang mengingat tak mungkin tak datang. Nama baik keluarga Herlambang dipertaruhkan.

'Bagaimana ini ...?'

Dengan berurai air mata, mondar-mandir berpikir keras mencari jalan keluar. Tangannya dijentikkan tatkala sebuah ide muncul.

“Kak Zidan maaf mengganggu.”

Dia menelpon satu-satunya orang yang mungkin dimintai tolong. Tak mungkin menelepon Papi, selain tak punya nomornya, bisa huru-hara. Mustahil juga minta bantuan kakak-kakaknya yang jelas benci.

"Ada apa, kok nangis?"

Zidan cemas mendengar tangisan di detik-detik acara debutnya.

"Aku butuh bantuan. Gaunku sobek parah."

Jantung Zidan berdegup kencang, jam di tangannya menunjukkan pukul setengah tujuh. Artinya, waktu yang tersisa hanya satu jam setengah.

"Aina tunggu ya, jangan nangis. Aku carikan gaun baru sekarang!"

Pemuda itu menyambar kunci motor, berlari-lari sepanjang kamar menuju halaman depan. Dia tak memedulikan pakaian yang masih amburadul.

"Capt, mau ke mana?" Bunda terkejut melihat anaknya berlari-lari.

"Bun, butik Tante Nesya masih buka gak jam segini?" Bukannya menjawab pertanyaan, malah balik bertanya.

"Masih, sampe jam sembilan malem. Emang kenapa?" Wanita paruh baya itu memicingkan mata.

"Ada perlu. Pamit dulu, Bun!"

Anak sulung itu masih sempat mengecup kening bundanya sebelum berlari menuju mobil. Bunda melongo tak mengerti mengapa putranya begitu.

"Hei bentar lagi acaranya dimulai, jangan terlambat!" Teriakan itu tertelan deru motor yang dilajukan kencang.

Motor melesat membelah jalanan ibu kota. Berpacu dengan waktu yang terus melaju. Detik demi detik amat berharga saat ini. Degup jantungnya bertarung dengan desing mesin ribuan kendaraan di jalan raya.

"Shit!"

Lampu merah membuatnya jengkel setengah mati. Tak sampai semenit motor itu kembali menyalip kendaraan kecil maupun besar. Sesekali terumbar sumpah serapah dari pengemudi yang hampir terserempet olehnya.

Pukul tujuh, sampai di pelataran Grand Indonesia Mall. Setelah memarkirkan kendaraan, berlari-lari menuju butik Tante Nesya. Berulang-ulang hampir menabrak pengunjung lainnya. Kata maaf terucap entah untuk ke berapa kali. Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai ke tempat elit itu.

"Hai Kapten Ganteng. Kangen, ya sama Eke?" Joni menyambut riang idolanya.

"Aku mau pakaian muslim couple koleksi terbaru!"

Pria gemulai itu membawanya ke tempat koleksi pakaian muslimah terbaru. "Ukurannya apa?"

Yang ditanya bingung, garuk-garuk kepala lantas nyengir kuda. "Sebentar, aku telpon dulu!"

Lady boy itu melongo melihat idolanya tak tahu ukuran baju yang akan dibeli.

"Aina, ukuran baju dan sepatumu berapa?"

CINTA SANG PILOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang