Angkasa membolak-balik kertas di hadapannya ini. Ia kali ini benar-benar frustasi, melihat lembaran kertas di hadapannya saat ini, yang tak menampilkan tanda tangan adiknya yang sangat ia sayangi tersebut.
"Sebegitu susahnya ya?" Teriak Angkasa dalam hati.
Flashback on
"Apa gue coba temuin Samudra dulu ya, dan ngomong ke dia baik-baik." Tanya angkasa dalam hati.
Jarum jam, beserta perangkat waktu yang lain kini menunjukkan pukul 5 pagi. Angkasa sudah biasa bangun sepagi ini, bahkan jam 4 pagi.
Dan kembali, saat ini ia menerawang bagaimana rasa rindu terhadap Shalsa tidak dapat dibendungnya. Tidak dapat disangkal lagi, rasa rindunya kembali menyerang saat melihat wajah Samudra dipikirannya. Ia benar-benar merindukan wajah 2 orang tersebut.
"Gabaik kalo gue kayak gini terus. Gue harus pergi sekolah. Gue gaboleh nyerah. Kuatkan Angkasa Tuhan!" Ucap Angkasa dengan diiringi kegerakan di tempat tidurnya. Ia berdiri, hendak melangkah kan kakinya ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi, Angkasa membulatkan tekadnya untuk menemui Bunda nya tersebut, serta Samudra.
"Nak Angkasa, dipanggil Tuan untuk sarapan di bawah." Ucap seorang pembantu dan pelayan rumah besar tersebut.
"Ia bi, bilang sama papa, tunggu bentar."
"Iya den, ditunggu."
Setelah melibatkan percakapan dua orang tersebut, Angkasa mengambil tas nya, dan menyambar kunci Lamborghini hitamnya. Ia bergegas membuka pintu, dan setengah berlari turun ke bawah, dengan rambut yang masi basah dan acak-acakan saat ini, menambah nilai plus untuk dirinya.
"Gimana OSIS kamu? Masih sibuk?" Tanya Tama membuka pembicaraan saat ini.
"Iya pah, masi sibuk banget. Sorry ya pah, Angkasa kalo sekarang susah dihubungin." Ucap Angkasa diiringi gerakannya yang menarik kursi makan.
"Iya, gapapa. Papa bisa terima. Oh, iya gimana keadaan mama sama Samudra? Papa kangen banget sama mereka." Ucap Tama kini. Nadanya menjadi sangat pelan. Angkasa tau, walaupun memiliki harta yang berlimpah seperti sekarang ini, tapi harta tersebut sangatlah mahal harganya jika untuk membeli sebuah kebahagiaan dalam keluarga.
"Papa yang sabar ya, Angkasa akan coba bujuk Samudra." Ujar Angkasa mencoba menghibur papa nya tersebut.
Melihat anaknya merespon demikian, Tama hanya diam. Ia tidak mau menambah beban pikiran anaknya tersebut. Belum lagi beban sekolah yang terus menumpuk, bahkan untuk meminta waktu sebentar saja tidak bisa.
"Pah, makan Angkasa udah selesai nih. Angkasa pamit dulu ya?" Ucap Angkasa kini, sambil bersalaman dengan ayahnya. Tak lupa ia mengukir senyum di sudut bibirnya. Tak lupa juga, Tama mengeluarkan nasihat nya setiap pagi
"Hati-hati ya bawa mobilnya. Hari depan masi nunggu loh." Ucap Tama dengan senyum nya.
"Siap pah." Teriak Angkasa di depan pintu utama rumah mereka.
Setelah sampai di dalam mobil, Angkasa kembali menimang-nimang keingginannya. Akhirnya dengan keputusan yang bulat, ia menelpon telfon gengam milik Samudra. Tetapi, hasilnya nihil, tak ada jawaban.
Memutuskan dengan tekat yang bulat, Angkasa lalu menjalankan mobilnya, membelah daratan ibu kota.
Setelah sampai di tujuan, mata Angkasa tertuju pada Samudra yang hendak menaiki mobilnya, yang berlawanan warnanya. Mata Samudra pun demikian, tak luput dari wajah saudaranya tersebut. Jelas dari muka Samudra tercetak jelas aura kemarahan. Dengan berlari, ia menendang dada Angkasa, dan membuat Angkasa terpental beberapa centi kebelakang. Tidak sampai situ, ia kembali menghajar Angkasa tetapi memakai tonjolan ringan. Ia tidak tega melukai saudaranya tersebut.
Dan kembali, Shalsa melerai kakak adik tersebut yang membuat Angkasa kembali masuk ke mobilnya dan melajukan mesin kendaraan nya tersebut. Ia benar-benar tidak mau melukai bundanya tersebut, apalagi penyakit jantung yang sedang diidap bundanya.
"Maafin gue bang. Maafin." Ucap Samudra dalam hati, menatap sendu mobil saudara nya tersebut.
Flashback off
Angkasa kembali tersenyum kecut, menyadari kejadian tadi pagi. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa adiknya bukan yang dulu lagi. Tidak ingin membuang waktu, ia kembali melirik kertas-kertas peserta MOS. Bukan untuk menambah pekerjaannya, Angkasa hanya ingin tahu, siapa yang berhasil mendapat tanda tangan Samudra. Ekpresi kecewa terus tercetak di wajah tampannya. Tiba-tiba, ia dikagetkan dengan suara pintu yang berdecit, diiringi dengan masuknya perempuan yang seumuran dengannya.
"Mau gue bantuin ga sayang?" Tanya Licia, sekretaris OSIS SMA semesta saat ini.
"Gausah! Pergi!" Ucap Angkasa dingin tanpa memandang lawan jenis dihadapannya ini.
"Duh! Aku kesini udah capek loh, bawain makan juga." Balas Cintia, diiringi dengan nada manjanya.
"GUE BILANG KELUAR YA KELUAR!" Ucap Angkasa membentak. Ia benar-benar tidak ingin diganggu saat ini. Dengan terpaksa, Cintia hanya menghentakkan kakinya kesal, dan beranjak dari ruangan OSIS yang hanya dihuni Angkasa seorang.
Tanpa sengaja pula, mata Angkasa membulat, kala melihat nama cewek yang terukir di kertas dihadapannya. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa tanda tangan adiknya bisa ada pada cewe tersebut. Dengan perasaan senang, ia sampai menaiki kursi dan membuat gemuruh di ruangan OSIS saat ini. Untungnya tidak ada orang lain di sini, sehingga Angkasa bisa bertingkah gila semaunya.
"Vania ya?" Ucap Angkasa dalam hati.
-00-
"Hayo Van? Lu habis ngapain ini?" Tanya Rara sambil menatap mata Vania intens. Mereka berdua kini masih berada di depan gudang sekolah.
"Lu gausah bohong sama gue. Ngapain?" Tanya Rara sedetik kemudian
"Nggak, tadi gue cuman bosen. Jadi ya gasengaja masuk ke sini."
"Ngaku!"
"Iya serius."
"Tapi tadi kok gue ada denger suara cowok?" Tanya Rara bingung
"Mampus gue! Apes banget sih! Mau bohong susah. Gabakat ya gini!" Teriak Vania dalam hati.
Samudra yang berada di dalam gudang, mendengar adanya celotehan ribut para perempuan di depan markasnya. Tanpa pikir panjang, ia berjalan menuju suara tersebut, hendak memarahi orang tersebut.
Kini, Vania dan Rara kaget melihat adanya Samudra yang tiba-tiba keluar dari dalam gudang.
"TUH KAN! LU BERDUA SAMA DIA!?!?!" Teriak Rara sedetik kemudian, dan langsung mengubah intonasinya menjadi lembut saat mengatakan, "OMG GANTENG BANGET."
Vania yang merasa tersangkut pautkan di dalamnya kembali berbicara.
"Gue tadi ga ketemu dia di gudang. Mungkin dia masuk lewat jendela pas gue udah pergi. Please deh Ra, gausah mikir macem-macem." Ucap Vania.
"Lu bohong kan?" Ucap Rara menatap Vania semakin intens.
"Umm g-ue, gue tadi sama Vania sebenernya lagi." Ucapan Samudra terpotong karna ada yang memanggil namanya.
TINGGALKAN JEJAK READERS :)
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMUDRA
Teen Fiction#11 in berandalan (15-04-2019) *SAMUDRA ADIJAYA VERNANDO Muka yang tampan, serta hidung yang mancung dan rahang yang tegas tampak menghiasi wajahnya. Ditambah pesona dada bidangnya kokoh dan lebar membuat kaum hawa tergiur-giur. Namun siapa sangka...