1.

975 126 12
                                    

"Sheril. Es-ha-e-er-i-el."

***

Bab 1 : Si Belang

Segelas teh hangat yang asapnya tak lagi mengepul dan sebuah buku paket biologi menemani jam istirahat Sena di kantin belakang. Sudut paling pojok, dekat tukang soto ayam kesukaannya, jauh dari kebisingan.

Bosan, Sena melepas earphone di telinganya dan meletakkannya asal di sebelah gelas tehnya, kedua manik matanya berselancar memantau keadaan sekitar. Sejauh ini, Sena belum melihat adanya pelanggaran yang biasa dia temukan dengan mudah.

Menjabat sebagai anggota osis selama setahun dan naik jabatan menjadi ketua osis membuat Sena terbiasa. Terbiasa menemukan pelanggaran dan menegurnya. Membuatnya dinobatkan menjadi siswa paling menyebalkan seantero sekolah.

Setidaknya hanya beberapa siswa berandalan yang berpikir seperti itu.

Kedua fokusnya kini tertumbuk pada buku biologi bersampul biru di hadapannya. Ada stiker merah muda yang menempel bertuliskan; punya Sheril! Lengkap dengan tanda seru dan emoticon senyum.

Dalam hati Sena mendecih. Dasar labil, sudah pakai tanda seru, pakai emoticon senyum lagi.

Tiba-tiba Sena jadi ingat kebiasaan Sheril saat memperkenalkan diri. Gadis itu terbiasa mengeja namanya sejak kecil, seolah tidak ingin orang-orang salah menyebut atau menulis namanya.

"Es-ha-e-er-i-el."

"Sena!"

Sena refleks memejamkan matanya karena kaget. Kemudian menoleh pada seorang gadis yang kini duduk di hadapannya. "Pojok banget sih, duduknya!"

Alih-alih memberi alasan, Sena malah memandangi Sheril dengan pandangan aneh, seolah-olah gadis itu mengenakan sesuatu yang salah.

"Bukannya ganti dulu itu baju olahraganya."

Sheril menggeleng, kedua tangannya menyatukan helaian surainya keatas, membentuk sebuah cepol dan menjepitnya. "Rame, Sena. Males antrinya."

"Biasanya juga cewek ganti rame-rame di kelas," timpal Sena, tetapi kemudian cowok itu menggeleng, berubah pikiran. "Jangan deh, takut dibayang-bayangin sama cowok-cowoknya," ujarnya, teringat kalau siswa laki-laki di kelas Sheril dikenal dengan sifat nakalnya.

Sering membuat onar. Sena juga heran kenapa Sheril bisa masuk di kelas seperti itu.

Sheril mengangguk, mengacungkan pulpennya seolah berkata; nah itu tahu.

Ketika Sheril mulai membuka buku biologinya, Sena menunjuk sebuah pembatas kertas yang sudah ia tempel. "Jawabannya udah pada gue tandain, tinggal salin. Kurang baik apa gue, Ril."

Sheril mengacungkan jempolnya. "Iya, Sena memang terbaik, sayang banget pokoknya." Lalu dengan entengnya menyeruput teh milik Sena.

"Ya Allah nggak ada seger-segernya, heran ya, selera Sadena," komentarnya. Membuat Sena segera menarik gelas minumannya dan mendelik.

ForestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang