"apa sih yang lo gak bisa, Sen?"
Bab 10 : Yang Sena ingin lakukan
***
Satu langkah Sadewa seiring dengan satu langkah kecil milik Sheril yang mengikuti di belakangnya. Gadis itu menggerutu panjang lebar perihal Sadewa yang seenaknya jogging tanpa mengajak dirinya dan Sena terlebih dahulu.
"Kita kan, sepaket, Wa!" Seru si gadis berjaket merah muda itu tidak terima. "Sepaketnya bertiga, jadi gak bisa lo sendiri atau gue cuma berdua Sena."
"Sepaket sih sepaket." Sadewa balas mendumel meski pelan. "Tapi masa kalo gue mau pdkt sama cewek, kalian harus ikutan?"
Sepasang manik milik Sheril kini berkilat dan memicing, memastikan kalau dirinya tidak salah dengar. Buru-buru ia melangkah cepat menjajari Sadewa. "Pdkt apanya? Siapa? Elo? Sama siapa emang?" Tanyanya ngotot.
"Iya. Gue. Kenapa emangnya? Sama siapa lagi? Senja lah, masa iya, elo?" Saking sebalnya, Sadewa sampai mendorong pelan wajah Sheril dengan telapak tangannya. "Biasa aja matanya jangan melotot."
"Mata gue emang begini."
"Tuh-tuh melotot!"
Tidak jauh dari keduanya, Sena tampak menghela napas berat. Ingin lari untuk melerai, tetapi rasanya ada banyak hal yang menahannya.
Salah satunya Senja yang melangkah di sisi kirinya.
Mana mungkin Sena ikut bergabung dengan Sheril dan Sadewa lalu meninggalkan Senja sendirian. Selain itu, Sheril pasti akan menendangnya jika Sena nekat mengganggu momen mereka berdua.
"Lo juga bisa main gitar?"
Sena menoleh pada Senja. Bagus juga kalau gadis itu memulai pembicaraan, suasananya canggung sejak tadi karena Sena bukanlah tipe orang yang jago mencari topik pembicaraan.
Cowok itu mengangguk. "Tapi gak sejago Sadewa."
"Keren," puji Senja. Matanya membentuk lengkungan bulan sabit sementara tangannya bertepuk berkali-kali. "Gue bingung, apa sih yang lo gak bisa, Sen?"
Menjadi Sadewa.
Sena menerawang, lurus, jauh tepat pada kenangan bertahun-tahun yang lalu.
2 bulan sebelum Sheril pindah ke depan rumah mereka. Keluarga Sena dan Sadewa baru saja pindah menempati rumah tingkat dua itu tepat di hari ulang tahun si kembar. Seluruh keluarga besar berkumpul, bahkan nenek dan kakek dari papanya.
Sena kecil duduk di taman depan, dihadapannya terdapat tumpukan ensiklopedia berwarna. Mengenal Tubuh Kita, Bagaimana Manusia Bernafas, Sistem Gerak Manusia, Apa Yang Terjadi Jika Tubuh Terluka?
"Ewh." Sadewa kecil menghampirinya dengan sebuah ukulele. Tadinya anak laki-laki itu minta dibelikan gitar akustik, tetapi terlalu besar untuk anak seusianya dan mereka berakhir membeli ukulele putih itu untuk kado ulang tahun Sadewa. "Sena mau baca yang begituan?" tanyanya penasaran.
"Kalau dibeli, harus dibaca, kan?" jawab Sena dengan tenang.
"Sena gak beli, yang beli Papa. Buang aja kalo Sena nggak suka, jangan dibaca."
"Kalau dikasih, harus disimpan." timpal Sena. Matanya melirik tumpukan buku dan ukulele Sadewa bergantian. "Wawa dikasih gitar?"
"Kata mama, ini namanya ukulele."
"Oh, ukulele." Sena tanpa sadar mengulang kalimatnya. "Bagus."
Sehabis makan malam, seluruh keluarganya berkumpul di ruang tengah. Sadewa kecil menenteng gitarnya dengan senyum lebar. "Nanti, kalau udah besar, Wawa mau jadi gitaris band!"
Semua orang dewasa di sana tertawa mendengarnya. Ada yang bertepuk tangan dan mengamini impian anak laki-laki itu. Termasuk Sena yang mengulas senyum tipis.
"Nanti kalau Wawa tampil di tivi, ajak Oma dong," ujar wanita paruh baya di dekat televisi. Tampak bangga dengan cucunya.
"Iya dong, pasti. Kalau Wawa masuk tipi, semuanya Wawa ajak ketemu artis!"
Sadewa dan segala hal yang membuatnya percaya diri.
"Kalau Sena, mau jadi apa?"
Sena tersenyum gugup saat seluruh mata kini menatapnya. Anak laki-laki itu masih terdiam hingga sang Papa menepuk pundaknya lembut. "Sena mau jadi dokter dong, iya kan, Sen?"
Iya.
"Sena?"
Telapak tangan Senja yang melayang di depan wajahnya, membuat Sena tersadar. "Hah iya?"
"Ngelamun?"
Cowok itu menggeleng, lalu tersenyum. "Gak, gue cuma kepikiran sesuatu."
Senja membalas senyumnya. "Tar aja kepikirannya, di rumah. Di jalanan gini kalau nggak fokus bisa nabrak."
"Hm."
"Kata Sadewa, lo yang ngerekomendasiin gue ke dia?"
Sena mengangguk lagi. "Iya, karena kaos kaki—eh." Sena langsung menoleh pada Senja. "Senja, kalau lo pake kaos kaki garis-garis lagi, gue sita, beneran. Aturan sekolah itu untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar. Agar semua siswa—"
"Tertib, aman dan merasakan keadilan tanpa membeda-bedakan antar siswa." potong Senja. "Udah hafal, lo selalu ngomong gitu kalau nyetrap orang."
"Oh, sampai hafal," timpal Sena dengan ibu jarinya. "Peraturan kenapa kaos kaki harus putih itu supaya semua rapi dan semua siswa terlihat sama—"
"Ya kaos kaki doang masa bisa menentukan kasta seseorang sih, Sen?"
Sena berdeham. "Gak semua orang bisa beli kaos kaki lucu. Yang gak mampu beli bakal iri."
"Hah," Senja mendengus. "Salut banget sama jalan pikiran lo. Jauh dan kritis."
"Gue anggap itu pujian."
Senja mendorong pelan lengan Sena sembari tertawa geli. Sedangkan Sena justru malah tertawa terbahak-bahak.
"Sena!"
Itu Sheril, yang setengah berlari menghampiri Sena sebelum akhirnya menarik jaket cowok itu. "Ayo kita bersatu untuk menghajar Wawa. Ngeselin banget lagian."
"Gak-gak." Itu Sadewa yang ikut menghampiri mereka. "Lo harus jadi tim gue buat melawan Sheril. Sen, dia itu ular."
"Sini lo gue patok!"
"Lo itu ular atau ayam jago, sih?"
Sena lagi-lagi menarik napas berat. "Apalagi, berantem apa lagi ini?" Bola matanya berputar jengah. "Sana duel berdua, gue mau pulang, tidur." Ia menepis tangan Sheril yang melingkari pergelangan tangannya sebelum beranjak pergi.
"Dih Sena kenapa?" Sheril memandanginya heran, sama halnya dengan Sadewa yang menggaruk tengkuk belakang.
"Tumbenan dia marah."
Sementara Senja menahan tawa melihat mereka bertiga. "Hayoloh."
"Lo apain si Sena?" Tanya Sheril sengit. "Lo bikin bete kan? Hayo ngaku."
"Tadi dia masih ketawa pas sama gue. Pas lo datang jadi marah-marah."
"Ah ilah," seru Sheril sebal. Kakinya menendang kerikil di depannya. "Sena jangan ngambek! Gue ada pr matematika!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Forest
Teen FictionSadena Raditya masih 17 tahun, duduk di bangku ketiga sekolah menengah atas dan sedang menghadapi krisis jati diri pertama dalam hidupnya. Sena kira, dengan mengalah dari sang kakak dan memilih mewujudkan keinginan kedua orang tuanya akan membuat hi...