"Kenapa sih, kepo amat?"
***
Bab 8 : Aura negatif
Dengan mata setengah terpejam, Sheril meraba kasurnya. Gadis itu menghela napas lega ketika tangan kanannya menjangkau sebuah benda pipih, ponselnya. Jemarinya bergerak menyalakan layar dan sepersekon kemudian sepasang matanya membola.
Pukul 08.15
Panik, Sheril nyaris melempar ponselnya. Menendang selimut dan bergerak cepat menyambar handuk di gantungan baju. Setelah itu melangkah secepat kilat menuju kamar mandi.
Begitu tangannya menarik kenop pintu, Gerakan Sheril mendadak terhenti. Bersamaan dengan deru napas kaget dan sepasang bola mata yang membola lagi.
"Sena?"
Dihadapannya, Sena terlihat heran. Tangan kanan cowok itu menenteng ransel Sheril. "Lo mau ngapain?"
"Lo sendiri?" balas Sheril. Kini matanya menelisik Sena dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kenapa nggak pake seragam? Nggak sekolah? Kita udah telat, tau!"
Sena mengernyit. Membuat Sheril ikut mengernyit. Hening sebentar sampai Sheril menenemukan Bani melewati mereka dengan santainya sembari memainkan ponselnya.
"Bani nggak sekolah?"
Si bungsu menoleh. Dahinya berkerut samar menatap Sheril. "Ngapain? Ini kan tanggal merah. Amnesia ya, lo?" Sukses membuat Sheril terhenyak malu dan melirik Sena yang sedang mati-matian menahan tawa.
"Anjir,"Sheril mengumpat pelan. Lalu dengan gerakan cepat berbalik dan membanting pintu kamarnya karena malu. Menyisakan Sena dan Bani yang saling lirik sebelum tertawa terbahak-bahak.
"Ah, sialan! Jangan ketawa Sena, Bani!"
***
Sepuluh menit berlalu dan Sheril kini bergabung dengan Sena di ruang tengah. Sembari mengeringkan surainya dengan handuk, gadis itu memicing kearah Sena. "Jangan ketawa, Sena!" hardiknya dengan bibir tertekuk.
Diteriaki begitu, tidak membuat Sena takut. Buktinya cowok itu malah terang-terangan menunjukkan tawa gelinya sehingga Sheril menghantam wajahnya dengan bantal sofa.
"Gak heran sih, kalo lo ketiduran di rumah orang," cibir Bani yang duduk di meja makan. Si bungsu itu geleng-geleng heran melihat kelakuan sang kakak.
"Tau nih, Sheril. Masa bisa ketiduran di rumah Sena," kata ibunya yang tahu-tahu muncul dari dapur membawa sepiring besar nasi goreng. "Rumah tinggal jalan kaki doang juga." Wanita berusia kepala 4 itu menoleh pada Sena dan tersenyum lebar. "Sena, ayo sarapan."
"Awas." Sena menghalau bantal yang dipegang Sheril, meletakkannya di pinggir dan beranjak menuju meja makan. Disampingnya Sheril mengulurkan tangan minta ditarik.
Dasar mageran.
"Mager banget sih, Ril." Meski menggerutu, tetapi tetap saja Sena menarik tangan Sheril dan menggandeng gadis itu menuju meja makan.
"Gak kebayang kalau nggak ada Bang Sena di hidup Kak Sheril," komentar Bani ketika kedua orang itu menghampirinya. Setelah itu dihadiahi toyoran oleh sang kakak.
Sena mengulum senyum, ketika ibu Sheril menoleh padanya, cowok itu menggeleng pelan."Sheril-nya nggak mau sama Sena, Bu. Jangan suruh Sena deketin Sheril mulu," ujarnya setengah kesal. Paham kalau Ibu Sheril sering banget melontarkan candaan tentang kedekatan mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forest
Teen FictionSadena Raditya masih 17 tahun, duduk di bangku ketiga sekolah menengah atas dan sedang menghadapi krisis jati diri pertama dalam hidupnya. Sena kira, dengan mengalah dari sang kakak dan memilih mewujudkan keinginan kedua orang tuanya akan membuat hi...