"Semua yang dipaksa, bakal berantakan."
***
Bab 11 : Semua yang dipaksa, akan berantakan
Sena yang tengah merangkum catatan kimia di atas ranjang, buru-buru menarik selimut ketika pintu kamarnya dibuka mendadak. Matanya mendelik kesal, apalagi ketika Sheril muncul dengan tampang tak bersalah setelahnya.
"Susah banget ya, ketuk pintu dulu?" Sena berdecak seraya menurunkan selimutnya. Dia mengenakan baju lengkap, hanya sebuah tindakan refleks menarik selimut.
"Yaelah," ujar Sheril dengan raut malas. "Kayak sama siapa aja, santai dong, santai." Gadis itu melangkah menghentak menuju meja belajar, membuat Sena jadi bertanya-tanya, apa lagi yang membuat gadis itu kesal?
"Kenapa lagi sih, Ril?"
"Masa Wawa ngajarin Senja main gitar." Sheril menyilangkan lengannya di depan dada dengan bibir yang ditekuk. "Gue aja yang temenan lama sama kalian, nggak pernah diajarin gitar."
Sena berdecak lagi. Meraih pulpen dan kembali melanjutkan tugasnya. "Ya lo aja nggak pernah minta diajarin."
"Senja juga gak minta, Wawa aja yang sok inisiatif," ketus Sheril. Rasa kesalnya semakin menjadi-jadi saat menyadari kalau Sena malah kembali sibuk dengan buku-bukunya. "Sena!"
Sena mendongak. "Terus lo maunya gimana?"
"Belajar gitar juga." Sheril melirik gitar Sena yang diletakkan di sudut dekat lemari. "Gue bakal tunjukin ke Wawa kalau gue lebih hebat dari Senja."
"Biar apa sih, Ril?" protes Sena. "Hebat atau nggak, bukan di nilai dari main gitarnya, kok."
Sheril malah menyunggingkan senyum miring. "Nih ya, Sen, gue tuh rencananya mau nunjukin ke Wawa, kalau gue juga punya bakat musik." Ia melanjutkan. "Nanti pas dia ultah, gue mau kasih kado rekaman gue nyanyi sambil gitaran."
Sena terdiam. Otaknya mengingat-ingat kapan hari ulang tahunnya dan Sadewa. Sementara Sheril sudah membawa gitarnya menuju kursi di dekat meja belajar Sena.
"Belajar gitar itu susah loh, Ril. Nanti kuku lo rusak."
"Nggak masalah, dari pada hati gue yang sakit?"
"Nanti tangan lo kapalan, terus lo ngerengek ke gue lagi aja."
Sheril kontan memandangi kedua telapak tangannya, panik. Agak tidak rela kalau telapak tangannya kenapa-napa. Tetapi beberapa saat kemudian ia menggeleng, memantapkan tekad. Tangan kapalan nggak sebanding sama mengalahkan Senja.
Gadis itu memutar video melalui laptop sebagai sarana belajarnya. Sena berusaha mengacuhkan dengan kembali menekuni tugasnya.
Satu genjrengan asal ala Sheril membuatnya menghela napas. "Salah, nadanya."
"Hah?" Sheril menoleh. "Ini udah bener kok jarinya, sama kayak di video."
"Berarti kurang neken jari lo."
Sheril menggenjrang-genjreng senarnya lagi. Masih dengan nada meleset sehingga Sena sebal dan beranjak dari ranjangnya.
"Nggak gitu, Sheril." Sena mendekat, berlutut demi membantu memindahkan jari-jari Sheril pada senar yang tepat. Menekannya sedikit lalu berujar. "Coba, petik."
Sheril memetik gitarnya perlahan. Tersenyum senang karena menyadari suaranya terdengar lebih manusiawi ketimbang sebelumnya.
"Sekali lagi," perintah Sena, sebelum melepas jarinya pada jari Sheril dan berujar. "Itu C. Ingat baik-baik. Itu kunci C."
"Oh." Sheril mengangguk paham. Menunduk memperhatikan Sena yang kini ikut memetik senar asal. Tiba-tiba penasaran akan sesuatu. "Sena kenapa nggak main gitar kayak Wawa?"
Sheril mana tahu kalau Sena diam-diam sering memainkan gitarnya. Kalau orang tuanya tidak ada di rumah, kalau Sadewa sibuk di kamarnya, kalau otaknya sudah penat, Sena sering, tetapi hanya dirinya yang tahu.
"Karena gue bukan Sadewa." Sena bergumam pelan. "Papa maunya gue jadi dokter, jadi nggak ada waktu buat main gitar."
Sena bisa merasakan telapak tangan Sheril mengelus puncak kepalanya. Ia mendongak, mendapati Sheril tersenyum lembut. "Anak baik."
Tangan kanan Sena menangkap tangan Sheril yang masih mengelus rambutnya, menurunkannya perlahan. "Capek juga, jadi anak baik."
"Kalau capek, istirahat." Sheril menunduk, menumpukan dagunya pada badan gitar. "Jangan dipaksa. Kata ibu gue, semua yang dipaksa, bakal berantakan."
***
Semua yang dipaksa, bakal berantakan.
Sena berbaring di karpet, berjarak semeter dengan Sadewa yang tengah mengulik lagu barunya. Cowok itu menoleh pada si kembaran yang tengah fokus seraya berpikir. Sejauh ini, semuanya belum berantakan.
Jujur saja, Sena ingin ikut mengulik lagu. Ingin duduk berlama-lama di depan piano dan monitor untuk membuat instrument. Ingin puisi-puisi yang selama ini bersemayam di balik buku tulisnya menjelma menjadi lirik lagu dengan melodi yang indah. Sena juga ingin membanggakan orang tuanya dengan bermusik. Sena juga ingin digilai oleh Sheril karena kemampuan itu.
Tetapi ia menahannya. Karena kalimat Sheril tadi siang, Sena jadi berpikir, sampai kapan ia akan menahan semua ini?
Kapan ia akan meledak? Seperti apa dirinya saat meledak?
Sena menggeleng. Ada baiknya, hal-hal seperti itu tidak terjadi.
"Sen, sini dah dengerin. Gue nambahin dikit di chorus-nya." Sadewa melambaikan tangan, gestur agar Sena mendekat. Setengah hati, Sena beringsut mendekat dan memasang sebelah earphone-nya.
"Bagus."
"Serius?"
Sena mengangguk. "Cuma, gue ngerasa kuncinya kerendahan buat Senja. Tar lo samain lagi aja sama dia."
"Siap!" Sadewa membentuk gestur hormat. "Thank you, Bro!"
"Lepas!" gumam Sena ketika Sadewa mendekat dan mulai peluk-peluk. Biasanya Sena membiarkan kebiasaan saudaranya yang hobi skinship itu. Tetapi hari ini, suasana hatinya lagi kurang bagus.
Untung Sadewa tidak sadar. Cowok itu malah berhenti menggelayuti Sena untuk menyimpan gitarnya di kamar.
"Wa!"
Sadewa menoleh, sudah berada di tangga ketika Sena memanggilnya. "Kenapa?"
"Lo suka cewek yang bisa main gitar?"
Sadewa mengernyit. Lantas mengangguk. "Suka. Makanya gue ngajarin Senja." Lalu cepat-cepat ia menambahkan. "Biar bisa duet."
"Lo ngajarin Senja? Seriusan?" Sena bertanya karena sangsi. Seingatnya, Sadewa benci banget diribetin oleh orang lain. Dia nggak suka kalau harus menjelaskan sesuatu atau mengajarkan orang lain. Alasannya karena dia merasa dirinya tidak sabaran dan gampang emosi.
"Serius."
"Bukan lo banget, Wa."
Sadewa melempar senyum miring. "Emang yang gue banget itu gimana, Sen?"
***
Ayo bikin petisi biar Sheril melek ngeliat Sena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forest
Teen FictionSadena Raditya masih 17 tahun, duduk di bangku ketiga sekolah menengah atas dan sedang menghadapi krisis jati diri pertama dalam hidupnya. Sena kira, dengan mengalah dari sang kakak dan memilih mewujudkan keinginan kedua orang tuanya akan membuat hi...