Pada mata yang tak lagi bisa memandang, dan untuk hati yang masih setia mengenang, bahwa kedatangan yang menyimpan sebuah rahasia membuktikan hati memang telah dibutakan oleh cinta.
Selalu ada permulaan meski telah ada akhir yang menghancurkan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ini hari ketiga Yoo Inha tinggal di rumah sakit. Jika di awal-awal frustrasi menghajarnya hingga babak belur, kini hanya pasrah yang mampu mendominasi untuk menerima semuanya.
Jikalau dirinya mampu mengadu dan menggugat Tuhan, kepada siapa pula seluruh hujatan dan sumpah serapahnya sanggup dilontarkan untuk manusia yang telah merenggut kehidupannya. Inha mengatakan dirinya telah mati dengan mata yang tak sanggup lagi menyimpan memori.
Maka hanya tersisa embusan napas yang masih terdengar begitu berat di saat seluruh pikirannya terus berkecamuk tentang bagaimana caranya dia hidup di kemudian hari. Karena tak ada lagi kemungkinan-kemungkinan yang sanggup diterima logikanya kecuali mati.
Tetapi tidak, Inha bukan perempuan lemah yang menyerah pada keadaan. Bahkan di musim dingin dengan suhu dibawah nol derajat celcius saja Inha sanggup bertahan meski harus membakar hangus puluhan batang kayu bakar di tong kosong di dalam rumahnya.
Ini sudah jam untuk pasien beristirahat, namun Inha masih belum memejamkan mata, yang meski menjadi tindakan sia-sia. Bahkan tanpa memejamkan mata saja, Inha telah memiliki kegelapannya.
Hingga suara deritan pintu itu menyapa pendengarannya. Membuat Inha masih saja mengerjap saat menyadari seseorang memasuki ruangannya.
"Siapa?"
Rasa penasaran itu mendobraknya, namun semerbak aroma chamomile yang merengsek masuk ke penghidunya memberi jawaban yang abstrak.
Inha ingat aroma ini. Sang pemilik yang menjadi titik pegangannya beberapa hari yang lalu saat rasa frustrasi menghabisi akal sehatnya.
Namun ingatan di hari Inha menangis di pelukan sosok yang dia yakini seorang pria itu menjadikannya terdiam dan menunduk. Mencoba mengaburkan debaran yang entah mengapa muncul meski terasa begitu pelan.
Aroma chamomile itu semakin kuat, dan Inha mampu membayangkan dalam kegelapan bagaimana tubuh itu mendekat bersama derapan langkah kaki yang begitu pelan. Hingga tercium semakin jelas dan Inha meyakini jika sang pemilik tengah berdiri di sebelahnya.
"Selamat siang, Yoo Inha." Suara bariton itu menggema begitu berat meski mampu meringankan suasana hatinya. Inha masih hanya mampu mengerjap tanpa memberikan respons apa pun saat suara itu berlanjut begitu hangat di sampingnya. "Perkenalkan, aku Kim Taehyung. Penghuni kamar sebelah."
Inha memiringkan kepalanya, sedikit tidak percaya jika pria yang berdiri di sampingnya ini ternyata seorang pasien. Inha sempat mengira jika pria pemilik aroma chamomile itu adalah dokter yang bertugas di rumah sakit. Namun ternyata bukan.
Inha masih ada dalam pikirannya sendiri tanpa menyadari bagaimana Taehyung yang berdiri dengan gelisah. Semenjak awal, sudah hampir setengah jam Taehyung berdiri di depan pintu hanya untuk meyakinkan keputusannya. Taehyung ingin menunjukkan dirinya di depan Inha.