Lia terlihat tergesa-gesa mematut diri di depan cermin, jam menunjukkan pukul 07.21 ketika dia tahu bahwa dia terlambat bangun. Wawancara pertamanya harus sempurna karena inilah harapan dia bisa bertahan di Jakarta. Uangnya menipis, seminggu hidup di Jakarta tanpa pekerjaan sudah cukup menguras isi dompetnya. Ada satu ritual yang dia lewati sebetulnya. Mandi! Yap dia tidak mandi pagi itu, mau mandi bagaimana kalau jam saja tidak berhenti menertawakannya. Kerudung putih sederhana yang membalut kepalanya coba dia padukan dengan kemeja tangan panjang dan celana kain berwarna hitam. Tidak ada yang istimewa dengan penampilannya selain rasa percaya dirinya yang besar. "Ini gara-gara aku tertidur setelah sholat Shubuh tadi", rutuknya.
Dia sebetulnya disuruh datang jam 9 tepat, tapi dia belum tahu seperti apa jalan ke calon kantor barunya, belum lagi ini Jakarta. Jam segini ya macet dimana-mana. Sejam setengah tidak akan cukup untuk sampai, pikirnya. Tapi bukan Lia kalau tidak berusaha.
Setelah dirasa cukup sempurna -meski tidak mandi- dia berlari nyaris lupa mengunci pintu kosan. Sepanjang perjalanan dia amati benar-benar peta di tangannya. So far so good, pikirnya. Setengah jam sudah dia gunakan waktu yang tidak mau kompromi dan terus menertawakannya. Busway pertamanya sudah berhenti di tujuan. Tujuannya ke arah Medan Merdeka Selatan, Keduataan Besar Amerika! Lia tidak mengira lamaran iseng-isengnya berbuah panggilan. Kedutaan memang membutuhkan office girl yang bisa berbahasa Inggris dan Lia tahu, Jakarta hanya memperbolehkan ijazah SMA-nya hanya untuk menjadi seorang office girl, tidak lebih. Tapi itu untuk saat ini, pikirnya optimis.
***
Lia VOV
Aku tahu bahwa Jakarta bisa memberikan perbaikan hidup untuk keluargaku. Kalau aku tinggal di kampung terus mungkin paling banter hanya kerja di pabrik kecap, pabrik satu-satunya di dekat kampungku, itu juga jarak dari rumah sekitar 13 km. Tidak, pekikku dalam hati. Ibu dan bapak harus naik haji, 2 adikku harus bisa kuliah, itu cita-citaku.
Ibu bahkan menjual kalung, maskawin dari bapak ketika mereka menikah, sebagai modal aku bertahan di Jakarta sampai mendapat pekerjaan, dan aku janji bahwa kalung itu harus bisa aku beli kembali maksimal dalam 3 bulan. Rencana-rencana detail seperti itu aku perlukan agar aku bisa fokus terhadap rencana-rencana besarku yang lain.
Satu kelebihanku, aku bisa bahasa Inggris dengan lancar, yah paling tidak untuk ukuran kampungku. Ini tidak lepas dari hobby-ku membaca buku-buku berbahasa Inggris di perpusatakaan dan hasil kursus gratis dengan Kang Yadi, guru bahasa Inggris yang kebetulan adalah teman bapak. Setiap hari aku dan Kang Yadi berbicara dengan bahasa Inggris.
"Lia, tong hilap sholat nya, tong telat emamna (Lia jangan lupa sholat, jangan telat makan)", pesan ibu ketika melepasku pergi. Yah, itu juga jadi amanat yang harus aku laksanakan.
Aku meninggalkan rumah bilik 5x6 meter yang asri dengan mata berkaca-kaca, meninggalkan ibu yang menangis tersedu, bapak yang tetap tersenyum serta 2 adikku yang ikut menangis.
***
Akhirnya Lia sampai di kedutaan 8 menit lebih cepat. Dia pun segera berlari. Dia harus menemui Ms. Halley yang entah seperti apa orangnya, tawanya dalam hati. Lia memang belum pernah sekalipun bertemu dengan makhluk bernama bule, dia hanya melihat dari buku-buku berbahasa Inggris yang dia baca di perpusatakaan kecil di SMA-nya dan beberapa film yang pernah dia tonton. Pintu lobby Lia masuki dengan ragu-ragu, dia mundur lagi dan mencoba merapikan baju serta rambutnya. Kamu harus percaya diri Lia, biarpun kamu dari kampung tapi kamu adalah pilihan, saraf penyemangat dalam otaknya berteriak.
Lia pun masuk dan terbengong-bengong melihat beberapa bule yang sedang duduk-duduk di loby, nyalinya menciut. Bagaimana tidak, bule ternyata tinggi-tinggi, cantik-cantik, ganteng-ganteng, dan oh my God, kece-kece! Matanya masih berpindah dari satu bule ke bule yang lainnya. Dia tersentak, waktunya tidak banyak, dia pun segera mendatangi resepsionis dan menanyakan ruangan Ms. Halley.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Memilih Warna
Teen FictionGadis kampung dan cowok bule bertemu atas nama cinta. Well, terdengar agak mustahil. Tapi itulah yang terjadi pada Lia dan Matthew. Matthew sangat terpesona pada sosok Lia, sementara Lia masih berpikir pria bule itu sama semua, penganut free sex, ta...