Lia merebahkan diri memandang langit-langit kosan yang ditemarami lampu 10 watt. Pikirannya tak karuan, terus menerus dilanda ketidakmengertian akan sikap Mat. Sosok -yang menurutnya lebih layak jadi seleb hollywood- itu kadang tidak jelas maunya apa, kalau niatnya cari masalah Lia yakin dia dan Mat tidak pernah memiliki masalah. Apa mungkin karena kesan pertama ketika bertemu yang mungkin Mat merasa sikap Lia yang keterlaluan?
Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan silih berganti membentuk labirin yang tidak bisa Lia tembus. Mat, setampan-tampannya pria yang Lia temui mungkin tidak ada seujung jarinya Mat. Ya, Mat tampan, tinggi, bahkan Elin kadang memberinya credit point. Elin bilang kalau Mat itu perpaduan antara George Clooney dan Brad Pitt, tampan dan berbadan tegap. Elin bilang kalau Mat ada di hadapannya hampir tidak pernah mengajaknya ngobrol, terlalu cool dan jaim. Lia tidak setuju dengan penilaian Elin yang terakhir, cool dari mana? Jaim dari mana? Orangnya rese begitu, pikir Lia.
Lia mencoba menemukan jawaban satu per satu, dia meyakini kalau pertemuan pertama mereka yang menjadi pemicu sikap Mat seperti itu.
"Aku harus minta maaf," Lia sedikit berteriak.
***
Beberapa hari terakhir Mat makin menikmati sorenya di balkon apartemen, tapi kali ini dia cukup sibuk sehingga melewatkan lembayung berwana oranye menayapanya. Pekerjaannya padat dengan beberapa rencana kegiatan sosial ke beberapa daerah. Mat memandang jam di meja kerjanya dengan sekali lirik, tepat pukul 8 malam, mungkin tinggal dia sendiri di kantor itu.
Diambilnya gelas kopi di hadapannya, ternyata sudah habis. Mat melirik bungkusan kado hasil penolakan Lia, dia mendekat dan mengambil salah satu kerudungnya. Senyumnya tersungging malu. Ada banyak hal keanehan setiap hari pasca pertemuan pertama dengan Lia, keanehan yang justrusangat dia nikmati, dan Mat lupa kalau ada Tangan Tuhan yang sedang bekerja di sana.
***
Hari ini asyiknya Lia gajian. Beberapa rencana sudah Lia siapkan termasuk mau membeli beberapa kerudung baru yang mungkin bisa disesuaikan dengan warna baju office girlnya.
"Cieee yang mau terima gaji pertama," Santi menggoda Lia.
"Hahaha iya nih deg-degan akunya. Kalau kata urang Sunda mah renghap ranjug."
"Yang artinya...," Santi sering tidak mengerti beberapa kata Sunda yang keluar dari mulut Lia.
"Ada deh," balas Lia sambil berlari menuju pantry meninggalkan Santi yang semaput.
Di pantry Lia mendapati Elin yang sedang sibuk dengan sarapannya.
"Eh makan Li, ini aku ada makanan lebih, ayo sini."
"Ga usah Lin, kamu habiskan saja, kamu kan butuh energi ekstra hari ini, ingat tugasmu hari ini kan?"
"Ah Li, kamu bikin selera makanku ilang, masa hari ini aku harus bersihin semua toilet."
"Ya salah sendiri, kamu sih main telepon di jam kerja, ketauan Mr. Mark mah sama aja bunuh diri," Lia terkekeh mendapati muka Elin yang merengut, dan makanan Elin tetap saja habis ternyata.
***
"Nah ini gaji pertama anda Ms. Lia," Ms. Halley memberikan amplop kecil berwarna coklat.
"Terima kasih Ms. Halley."
"Rencananya mau digunakan untuk apa?"
"Sebagian mau saya kirim ke kampung, sebagian lagi ada beberapa rencana kecil dengan penampilan saya Ms."
"Wah sepertinya saya akan melihat penampilan baru anda Ms. Lia. Can't wait!"
"Ms. Halley bisa saja, saya akan tetap seperti ini Ms.," diakhiri tertawa keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Memilih Warna
Teen FictionGadis kampung dan cowok bule bertemu atas nama cinta. Well, terdengar agak mustahil. Tapi itulah yang terjadi pada Lia dan Matthew. Matthew sangat terpesona pada sosok Lia, sementara Lia masih berpikir pria bule itu sama semua, penganut free sex, ta...