Sepulang makan malam Mat masih terpikir kekonyolannya. Dia bisa saja menggunakan kartu kredit atau debet dia, tapi entahlah rasanya membuat Lia marah adalah sebuah pekerjaan yang membahagiakan. Senyumnya mengembang, terutama teringat akan wajah Lia yang justru terlihat cantik ketika marah, eksotis.
Bagi Mat, wajah Lia justru menarik karena terlihat tidak tersentuh make up, orisinil. Badannya di atas rata-rata wanita Indonesia. Sebetulnya bukan itu yang membuat Mat terpesona, ok mungkin ada pengaruhnya, tapi tidak sebesar karakter Lia yang ceria dan bersemangat. Entahlah, di mata Mat semua itu menjadi tampak seperti pesona wanita sesungguhnya. Dia pernah mengenal wanita-wanita bule sebelumnya, atau wanita Indonesia kelas atas sebelumnya, tapi tidak ada yang mampu membuatnya terpesona seperti ini.
Ketika Mat curhat masalah ini ke Shane, Shane malah menertawakannya. Shane bilang kalau Dewa Cupid tengah menembakkan panahnya ke Mat dan Lia. Mat menyangkal bahwa dia jatuh cinta, dia hanya merasa kagum aja ada wanita Indonesia yang datang dari pelosok dengan semangat untuk maju. Semakin Mat menyangkal, semakin membuat Shane tertawa terbahak. Shane malah menyuruh Mat mengirimkan photo Lia, dan Mat merasa itu konyol.
***
Lia menangis begitu sampai di kosannya. Bukan mengenai uang, tapi mengenai kebodohan yang dia lakukan. Kenapa dia harus minta maaf? Kenapa juga harus ada syarat? Setelah ini Mat mungkin akan jadi musuh terbesarnya.
Hey tunggu! Pasti ada yang salah dengan semua ini, atau lebih tepatnya ada yang salah dengan cowo bule itu, seru Lia. Kata Elin, Mat orangnya cool, jarang ngajak ngobrol kalau tidak penting, ini mah malah ngajak makan. Harus dicari tahu, mata Lia membelalak.
***
Pak Bambang bilang kalau akan ada OB baru di kantor. Yap OB! Office Boy! Katanya mulai besok dia bekerja. Elin langsung paling seru, kali aja cakep, katanya.
Well, Lia tidak begitu bernafsu membicarakan OB baru, dia cuma ingin tahu apa yang menyebabkan perbedaan sikap Mat ke dia dan Elin. Bagaimana caranya?
Lia tampak asyik membersihkan ruang meeting sambil sesekali pikirannya berkelana entah kemana. Mat masuk dengan laptop di tangannya.
"Eh ini vacuum cleaner-nya menghalangi jalan," Mat berkata dengan nada cukup tinggi. Lia melirik sebentar untuk kemudian menyingkirkan vacuum cleaner. Bibirnya tidak mengucapkan sepatah katapun. Mogok bicara sama orang ini pokoknya.
Mat menaruh laptop sambil mempersiapkan beberapa bahan untuk meeting 30 menit lagi, dan Lia tetap berusaha fokus membersihkan lantai. Keduanya terdiam, Mat mencuri pandang. Come on Mat, do something! Otaknya menyuruh.
"Ini uangnya saya kembalikan," Mat menyodorkan 5 lembar uang seratusribuan.
Lia tampak cuek dan tetap meneruskan pekerjaannya. Baginya, urusan kemarin sudah selesai dan itu memberikan penilaian sesungguhnya pada Mat.
"Kamu marah?" Kejar Mat.
"Saya permisi, pekerjaan saya sudah selesai di sini," Lia merapikan vacuum cleanernya tanpa melirik ke arah Mat, dan meninggalkan Mat dengan guilty feeling yang semakin besar.
***
Jam menunjukkan pukul 5 sore, Lia dan Elin sudah bersiap untuk pulang, ketika Mat menghadangnya di pintu pantry.
"Elin, boleh tinggalkan kami berdua?" Pinta Mat. Wajah Elin memancarkan beribu tanya, dan segera permisi meninggalkan mereka berdua.
"Kamu marah, Ms.Lia?"
Lia cuma tersenyum untuk kemudian menunduk.
"Ayo jawablah. Jangan membuat saya seperti orang bodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Memilih Warna
Teen FictionGadis kampung dan cowok bule bertemu atas nama cinta. Well, terdengar agak mustahil. Tapi itulah yang terjadi pada Lia dan Matthew. Matthew sangat terpesona pada sosok Lia, sementara Lia masih berpikir pria bule itu sama semua, penganut free sex, ta...