Hari ini Lia sudah mulai kerja kembali, melakukan rutinitas yang membosankan di kosan selama beberapa hari membuat Lia tampak rindu akan pekerjaannya. Beberapa pekerjaan langsung dia ambil tanpa menunggu perintah, bahkan Pak Bambang bengong melihatnya.
"Hati-hati, Lia. Kamu itu baru sembuh, nanti sakitnya kambuh."
Lia hanya tersenyum dan kemudian melanjutkan pekerjaan. Lia sedikit gugup juga hari ini, mungkin karena akan bertemu Mat yang sudah membuat hatinya memberikan penilaian yang jauh berbeda dibanding sebelum dia sakit. Sesekali matanya berkeliling, barangkali saja Mat sedang berjalan di koridor atau duduk di ruang tunggu. Nihil. Ya pasti lah dia di ruangannya, jawab Lia atas pertanyaan yang juga keluar dari otaknya sendiri.
Tugas membersihkan ruangan Mat hari ini bukan tugasnya, seperti biasa Elin yang menyelesaikannya. Lia berpikir sejenak, hatinya seperti meronta ingin melihat wajah Mat barang sekejap. Tiba-tiba seulas senyum tersungging di bibirnya.
Pantry tampak sepi karena beberapa penghuninya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Lia membuat kopi dengan sedikit gugup. Dicobanya kopi itu, masih enak. Lia mulai berjalan ke arah pintu tapi kemudian kembali lagi, berulang-ulang dia melakukannya. Dia mulai berpikir kembali. Mat tidak menyuruhnya membuat kopi dan otaknya mulai merontokkan keberaniannya tadi, ada semacam pernyataan dari otaknya, kalau tidak diminta tak perlu lah inisiatif. Diletakkannya kembali kopi itu kemudian Lia duduk tercenung, sesekali tangannya mengipas-ngipas bagian leher, terasa gerah padahal pantry tersebut dipasangi AC.
Lia mulai berpikir kalau Mat kemarin ingkar janji, katanya akan datang mengunjunginya, ternyata setelah ditunggu tak kunjung datang. Sebetulnya hari ini pun dia masih harus istirahat tapi Lia mulai bosan di kosan dan alasan utamanya tentu adalah bertemu Mat. Ya bisa saja melalui telepon dan menyuruh Mat datang, tapi apa kata dunia? Jawal Lia retoris.
Lia berdiri lagi dan langsung mengambil kopi, kali ini keberaniannya muncul kembali. Dia berjalan tegap menuju ruangan Mat dengan kerudung bagian belakangnya mengikuti angin. Tubuhnya sudah berdiri di depan ruangan Mat dan tangannya ragu untuk mengetuk. Lia tertegun, keberaniannya rontok kembali. Tiba-tiba Ms. Halley datang dari arah belakang.
"Hey, Ms. Lia. Sudah sembuh?"
"Hey, Ms. Halley. Iya alhamdulillah."
"Kenapa tidak masuk? Mau antar kopi, bukan?"
"Iya Miss."
Ms. Halley membuka pintu dan mendapati Mat sedang sangat sibuk dengan berkas-berkas menumpuk di mejanya. Mat melirik sebentar ke arah Ms. Halley dan kemudian terlibat obrolan serius dengan Ms. Halley. Lia masuk dan menyimpan kopi. Setelah itu, dia tidak tahu harus berbuat apa. Lia cuma merasa Mat mengacuhkannya.
"Sudah selesai, Ms. Lia? Kamu boleh kembali bekerja," Ujar Mat tanpa ekspresi dan membuat hati Lia perih. Mat yang dikiranya sudah berubah ternyata masih bersikap menyebalkan. Yah, mungkin saja kemarin dia hanya mengolok-olok, pikir Lia.
"Iya, permisi."
Lia keluar ruangan dengan gontai diiringi tatapan Mat. Kejadian ini membuat mood-nya drop sedrop-dropnya. Harapan dia bisa melihat senyum Mat, sedangkan kenyataan hanya membuat hatinya sakit.
Lia duduk di pantry dengan kehilangan semangat bekerja, dilihatnya jam yang menempel di dinding pantry, masih jam 10.15 dan itu berarti masih lama untuk pulang. Elin masuk dan mendapati temannya lesu.
"Hey, kenapa kamu, Li? Kamu sakit lagi?"
"Gak kok, Lin. Cuma pengen duduk dulu sebentar."
"Muka kamu pucat, sudah izin pulang saja dan biar aku yang handle pekerjaan kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Memilih Warna
JugendliteraturGadis kampung dan cowok bule bertemu atas nama cinta. Well, terdengar agak mustahil. Tapi itulah yang terjadi pada Lia dan Matthew. Matthew sangat terpesona pada sosok Lia, sementara Lia masih berpikir pria bule itu sama semua, penganut free sex, ta...