***
Disebuah kamar yang bernuansa biru, terlihat seorang gadis yang tengah duduk di lantai. Gadis itu melipat kedua lututnya, membenamkan kepalanya pada sela sela lututnya, dan menyandarkan tubuhnya pada tepian tempat tidur. Sekilas, tampak seperti gadis yang tengah mengalami tekanan batin tinggi atau mungkin lebih dari itu, ia lebih terlihat seperti gadis yang baru saja ditinggalkan oleh kekasihnya hingga membuatnya frustasi, atau… gila.
Gadis itu mengangkat kepalanya. Wajahnya tampak sangat kacau, sisa-sisa air mata masih terlihat jelas dipipi tirusnya. Bibirnya bergetar, seperti menahan tangis yang hendak segera keluar jika ia tidak menahannya. Rambutnya acak-acakan, sepertinya gadis itu mengacak rambutnya di setiap menit. Hingga menjadikannya persis seperti kamar yang sekarang ia tempati, berantakan dan sangat tidak teratur. Bahkan kamar itu sudah hancur sebagian, buku-buku, bantal, selimut, dan barang-barang lainnya, tergeletak di tempat yang tidak seharusnya mereka berada. Sepertinya, gadis itu baru saja mengamuk hebat dan melempar semua barang-barang tidak bersalah yang terlihat oleh indera penglihatannya. Sungguh pemandangan yang tidak pantas untuk di lihat.
Perlahan, mata bengkak gadis itu beralih melihat kearah laci disamping tempat tidurnya. Lalu, tangannya bergerak untuk membuka laci itu, diraihnya sebuah foto usang dari dalam laci itu dan menatapnya dengan seksama. Mata merahnya menari-nari menjelajahi setiap lekuk dari foto usang yang sudah lecek itu, tampak sudah di remas dengan sekuat tenaga dan hendak untuk di buang. Tapi, sepertinya foto itu masih selamat dan tidak berakhir di tempat sampah. Buktinya, foto itu masih utuh dan sekarang tengah berada di genggaman seorang gadis. Meskipun, foto itu sudah usang dan gambarnya pun sudah tidak sebaik dulu.
“Apa kabarmu, Hyo Jin-ah?” ucap gadis itu parau pada selembar foto usang yang berada di tangannya. Foto yang di dalamnya terdapat dua orang gadis cantik yang masih mengenakan seragam SMA sambil tersenyum lebar. Terlihat dari pose dua gadis itu yang saling memegang pundak dan menyunggingkan senyum lebar, mereka pasti sangat bahagia. Seakan-akan tidak ada sesuatu apapun yang mengganggu kebahagiaan mereka.
“Maafkan aku, Hyo Jin-ah. Aku tahu aku bersalah padamu, tapi… apa aku harus menanggung balasan atas kesalahanku itu? Jika iya, haruskah aku membayarnya sekarang?” ucap gadis itu sendirian. Tidak ada siapapun di kamar itu kecuali dirinya dan selembar foto usang di tangannya.
“Kenapa kau tidak menjawabnya, Hyo Jin-ah?! Apa ini suatu hukum karma untukku? Hukum karma karena aku telah membuatmu pergi dan membuat kau dan Kyu Hyun berpisah? Oh ayolah, Hyo Jin-ah. Tidak bisakah kau tenang di surga sana dan tidak mengganggu kehidupanku yang sekarang? Aku tahu semua perbuatan pasti akan mendapatkan balasannya, tapi… bisakah jika aku mendapatkan balasan itu nanti? Saat aku sudah menyusulmu, bukan sekarang. Aku mohon,,,” ucap gadis itu serak. Seandainya saja ada banyak orang yang kini tengah melihatnya. Dapat dipastikan jika orang-orang itu akan menyangka jika gadis itu benar-benar gila, berbicara sendirian pada foto usang yang tidak mungkin akan menjawab dan menyahuti setiap apa yang ia katakan.
Bibir gadis itu tampak bergetar, pandangan matanya tampak kabur oleh air mata yang melesak keluar, kepalanya tertunduk. Dan, beberapa detik kemudian, air mata yang sekuat mungkin ia tahan itu akhirnya menetes. Tepat mengenai wajah seorang gadis yang terdapat di foto itu. Bukan wajah gadis itu, melainkan wajah lain yang terdapat di foto itu. Sehingga membuat gadis itu seperti menangis.
“Maafkan aku,,, Hyo Jin-ah…”
***
“Bagaimana keadaannya?” tanya Yesung saat Sung Min baru saja keluar dari kamar yang ia tempati bersama Kyu Hyun.
Sung Min menggelengkan kepalanya pelan. “Buruk,” jawabnya singkat. Yesung menghela nafas berat.
“Ini sudah dua minggu, apa tetap tidak ada perubahan?” tanya Yesung lagi. Tapi lagi-lagi Sung Min hanya menggeleng.
“Sama sekali tidak, hyung. Bahkan lebih buruk,” ucap Sung Min pelan sambil mendekatkan wajahnya ke arah Yesung, takut-takut jika Kyu Hyun akan mendengar percakapan mereka dari dalam kamar yang tertutup itu. Yesung mengernyit tanda tidak mengerti dengan ucapan Sung Min.
“Sejak kejadian itu. Jika ia sedang tidak memiliki jadwal apapun, Kyu Hyun hanya akan berbaring di ranjangnya seharian. Ia tidak tidur, melainkan hanya menutup matanya. Walaupun matanya terbuka, ia hanya akan menatap kosong ke arah langit-langit. Untuk makan pun sangat sulit, entah kapan terakhir kali aku melihatnya makan, dan yang paling membuatku sedih adalah ia sama sekali tidak mau berbicara padaku, hyung. Aku pernah mencoba mengajaknya bicara, tapi ia sama sekali tidak merespon. Bibirnya tetap terkatup rapat, tak ada sedikitpun pergerakan darinya,” jelas Sung Min panjang lebar. Wajahnya sangat muram.
Sementara Yesung hanya bisa diam. Pria bermata sipit itu sudah tahu, pasti akhirnya akan seperti ini. Persis seperti saat Kyu Hyun putus dengan Yoona, maupun Hyo Jin.
“Dan apa kau tahu, hyung?” tanya Sung Min yang membuat Yesung menoleh.
“Apa?”
“Semenjak kejadian itu, Kyu Hyun tidak pernah menyentuh Psp putih kesayangannya. Psp itu hanya tergeletak di atas meja di samping ranjang Kyu Hyun. Bukankah itu sangat aneh? Yang Kyu Hyun lakukan hanya berbaring di ranjangnya saja, seakan enggan untuk meninggalkan ranjang itu sebentar saja hanya untuk sekedar makan atau mandi. Ia sudah terlihat seperti ayam yang sedang mengerami telurnya. Bahkan kau tak akan bisa membayangkan, bagaimana keadaan ranjangnya sekarang, sungguh bukan pemandangan yang indah untuk di lihat,”
“Seburuk itu kah?” tanya Yesung mencoba memastikan. Sung Min menggeleng –lagi.
“Bahkan lebih buruk dari pada itu. Selain menghabiskan waktu dengan berbaring di ranjang, sesekali ia juga menangis. Menangis tanpa sebab, dan… tanpa suara. Ia hanya mengeluarkan air mata yang di iringi oleh wajahnya yang datar, tanpa ekspresi. Sungguh, hyung. Aku tidak bisa jika melihat keadaan Kyu Hyun yang seperti itu, sangat menyedihkan,” ucap pria berwajah imut itu dengan ekspresi sedih. Yesung menghela nafasnya lagi, kemudian menepuk pundak Sung Min pelan.
“Kau harus lebih bersabar, Sung Min-ah. Sepertinya, Kyu Hyun memerlukan waktu lebih banyak untuk bisa keluar dari masalahnya. Mungkin, ia hanya belum menemukan cara yang akan ia lakukan untuk menyelesaikan masalah itu,” ucap Yesung bijak. Sung Min mengangguk.
“Hyung, kenapa kau tidak masuk saja? Ajak Kyu Hyun bicara, siapa tahu saja ia akan mau bicara jika kau yang mengajaknya. Dan tolong jaga dia, hyung. Aku harus pergi untuk siaran di Sukira sekarang,”
“Baiklah, aku akan menemuinya nanti. Kau pergilah, aku akan menjaganya,”
“Ne hyung, gomawo,” ucap Sung Min yang kemudian berjalan ke arah pintu keluar. Meninggalkan Yesung yang hanya bisa berdiri kaku di depan pintu kamar yang di dalamnya terdapat Kyu Hyun.
Yesung menghela nafas berat sebelum memegang kenop pintu ber cat putih itu. Lalu, dengan gerakan pelan, Yesung pun memutar kenop itu dan segera masuk saat pintu telah terbuka. Mata tajam Yesung menjelajahi setiap inci kamar dengan skala yang sangat luas itu. Ekor matanya menangkap sesuatu yang mengganggu pandangannya. Ranjang king size yang sangat berantakan. Bantal, guling, selimut, berceceran di tempat yang tidak seharusnya mereka berada. Sangat berbanding balik dengan ranjang yang terdapat di sebelah ranjang itu, sangat rapi dengan bantal, guling, dan selimutnya berada di tempat yang seharusnya.
Mata Yesung beralih pada seorang pria yang tengah berbaring di ranjang berantakan itu. Tubuhnya membelakangi Yesung, membuat Yesung tidak bisa melihat bagaimana wajah pria itu. Yesung pun melangkahkan kakinya mendekati ranjang itu. Beberapa detik kemudian, Yesung duduk di sisi tempat tidur yang tepat berada di belakang punggung pria yang tengah membelakanginya itu. Yesung tidak tahu, apakah pria yang tengah di tatapnya itu sedang tertidur atau tidak. Atau mungkin… pura-pura tidur.
“Kyunie, apa kau sedang tidur?” tanya Yesung pelan. Ia memperhatikan pria itu dengan seksama, tapi tidak ada pergerakan sama sekali darinya.
“Kau tidak mau bicara padaku? Apa kau marah padaku? Atau… aku berbuat salah padamu?” cecar Yesung pelan. Berharap bahwa pria yang sedang di ajaknya bicara itu akan berbalik dan menyahuti setiap perkataan Yesung. Tapi ternyata? Sama sekali tidak ada pergerakan yang berarti dari member Super Junior yang usianya paling muda itu.
“Sampai kapan kau akan seperti ini, Kyu Hyun-ah? Apa sampai kau menikah? Kau selalu seperti ini jika hubunganmu dengan gadis yang kau cintai berakhir. Tapi, bukankah di dalam pernikahan pun masih ada perceraian? Lalu, apa kau juga akan berakhir seperti ini jika seandainya kau bercerai? Ayolah, Kyu Hyun-ah. Tidak bisakah kau bersikap lebih baik? Sangat konyol jika setiap kau menjalin hubungan kemudian putus, dan kau akan berakhir seperti ini? Apa kau pernah melihat dirimu sendiri saat sedang seperti ini? Jika tidak, maka aku yang akan memberitahumu. Sangat menyedihkan! Kau dengar itu, Kyu Hyun-ah? kau tampak sangat menyedihkan!” ucap Yesung yang suaranya mulai meninggi.
Terdengar sangat kejam mungkin, tapi Yesung hanya ingin menyadarkan Kyu Hyun agar tidak terus-menerus terlarut dalam masalah yang sama. Yesung juga berharap jika semua ucapannya itu akan membuat Kyu Hyun marah lantas berbarik dan memaki Yesung habis-habisan. Rasanya, disaat seperti ini, itu lebih baik dari pada melihat Kyu Hyun diam dan terus-menerus terpuruk dalam kesedihannya. Tapi sebesar apapun harapan Yesung, Kyu Hyun seakan tidak mau mengabulkan harapan dari hyungnya itu. Ia seolah menulikan telinganya dan mematikan perasaannya. Tidak bergerak sedikitpun, bahkan berbalik pun tidak, apalagi jika berbicara dan menjawab semua ucapan Yesung. Sepertinya, itu hanya akan menjadi harapan Yesung semata.
Yesung menghela nafas sejenak, berusaha mengontrol dan menekan emosinya sampai pada titik terendah. Ia tidak mungkin membiarkan emosi menguasainya begitu saja, bukan? Terlebih jika emosi itu akan meluap dan menjadikan Kyu Hyun sebagai sasarannya. Tidak, Yesung tidak mau jika itu sampai terjadi.
“Apa kau belum puas menyiksa dirimu sendiri, Kyu? Apa kau tidak lelah? Dan asal kau tahu, bukan hanya kau yang tersiksa disini. Sung Min, aku, bahkan semua hyungmu khawatir padamu. Apa kau tidak sadar seberapa berharganya dirimu bagi kami? Kami semua mengkhatirkanmu, Kyu,” ucap Yesung terdengar sedikit melunak. Sangat jauh berbeda dengan ucapannya tadi. Sepertinya, pria itu berhasil menekan emosinya dengan baik.
“Berhentilah menyiksa dirimu sendiri, Kyu. Itu sangat tidak baik. Tapi, jika memang kau tidak bisa melakukannya untuk dirimu sendiri. Bisakah kau melakukannya untuk kami? Untuk semua orang yang mengkhatirkanmu dan juga menyayangimu. Apa kau tahu? Rye Wook bahkan menangis karena melihatmu seperti ini. Pria yang sangat pandai memasak itu sangat sedih karenamu, bahkan ia merindukanmu. Karena semenjak kau seperti ini, tidak ada lagi yang merecokinya saat memasak,”
Yesung kembali menghela nafas berat yang entah sudah keberapa kalinya. Yesung benar-benar merasa bodoh karena berbicara sendirian tanpa ada tanggapan sedikit pun., rasanya ia sudah lelah. Walaupun Yesung yakin, Kyu Hyun pasti mendengarkan semua ucapannya. Mana mungkin ia bisa tertidur jika ada seorang pria yang berada dibelakangnya sambil terus berbicara tanpa henti.
“Kau masih tidak mau bicara padaku, Kyu?” ucap Yesung mencoba memastikan. “Baiklah, sepertinya aku harus pergi. Lagipula, tidak ada gunanya kan jika aku tetap berada disini? Bahkan mungkin, kedatanganku pun sama sekali tidak di harapkan,” lanjut Yesung sambil menatap tubuh Kyu Hyun. Berharap jika dongsaeng kesayangannya itu akan segera berbalik dan menahan Yesung agar tidak pergi. 1 menit, 2 menit, 3 menit… baiklah, rasanya sudah cukup. Tidak ada gunanya lagi ia menunggu Kyu Hyun. Sepertinya, kedatangannya itu hanya sia-sia.
“Aku pergi, Kyu. Jaga dirimu baik-baik. Dan… jangan lupa makan, kau bisa sakit,” ucap Yesung untuk yang terakhir kalinya. Kemudian, ia segera berjalan ke arah pintu. Tangannya sudah memegang kenop pintu, berniat untuk segera membukanya. Tapi, tiba-tiba suara seseorang membatalkan niatnya itu.
“Hyung,”
Yesung segera menoleh, memastikan jika pendengarannya itu masih berfungsi dengan baik. Berharap jika itu benar-benar suara Kyu Hyun dan bukan halusinasinya semata karena terlalu mengharapkan Kyu Hyun. Cukup lama Yesung menatap tubuh tak bergerak itu, membuat Yesung berfikir, mungkin benar jika itu hanya halusinasinya saja. Hampir saja Yesung berpaling dan kembali melancarkan biatnya untuk memutar kenop pintu, hingga tiba-tiba, Kyu Hyun membalikkan tubuhnya pelan.
Kyu Hyun berbalik, menatap Yesung dengan pandangan yang tidak bisa di artikan. Perlahan, Kyu Hyun mengangkat tubuhnya hingga membuatnya duduk. Mata bengkak nya kembali menatap Yesung yang masih berdiri dengan tangan yang juga masih memegang kenop pintu. Yesung menatap balik wajah Kyu Hyun, mata sipitnya menjelajahi setiap inci wajah Kyu Hyun. Tampak sangat kacau. Rambutnya berantakan, matanya sembab, dan ekspresinya benar-benar menyedihkan. Tapi, ada sesuatu yang lain di wajah Kyu Hyun yang membuat hati Yesung terenyuh. Ada setetes air mata disana, Kyu Hyun menangis? Benarkah Kyu Hyun menangis? Tapi,,, kenapa? Apa akibat perbuatan Yesung?.
“Kyu,” ucap Yesung pelan.
“Mianhae hyung,,,” desis Kyu Hyun hampir tak terdengar. Air mata Kyu Hyun kembali menetes, membasahi wajah tampannya yang kini tampak sangat kacau.
Yesung segera menghampiri Kyu Hyun dan memeluk adik kesayangannya itu, berusaha memberinya pelukan hangat untuk menguatkan pria yang tampak sangat rapuh itu. Kyu Hyun menangis di pundak Yesung, membuat baju Yesung basah. Tubuhnya bergetar, tampak sangat menderita dan tertekan. Yesung menepuk-nepuk punggung Kyu Hyun, berharap dapat membuatnya merasa lebih baik, sekaligus memberinya semangat. Yesung yakin, disaat seperti ini, Kyu Hyun pasti sangat membutuhkannya.
“Tak apa, Kyu. Kau tidak perlu meminta maaf, semuanya akan baik-baik saja,” ucap Yesung pelan. Dimatanya, saat ini Kyu Hyun bukanlah Kyu Hyun yang biasanya sangat kuat, melainkan sangat rapuh. Seperti bayi yang baru saja lahir, harus di perlakukan secara lembut dan penuh kasih sayang.
“Apa kau sudah merasa lebih baik?” tanya Yesung sesaat setelah melepaskan pelukannya. Kyu Hyun mengangguk. Yesung Tesenyum.
“Kau mau menceritakan semuanya padaku?” tanya Yesung lagi. Kyu Hyun kembali mengangguk pelan.
“Aku tahu kau pria yang kuat, Kyu.”
***
“Annyeong ahjumma,”
“Nado annyeong, Ji Yeon-ah. Akhirnya kau datang, silahkan masuk,” ucap eomma Yong Sang sambil mempersilahkan sahabat putrinya itu untuk masuk.
“Ahjumma, dimana Yong Sang? Dan, bagaimana keadaannya? Apa sudah ada perubahan?” tanya Ji Yeon sesaat setelah masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Eomma Yong Sang menghela nafas berat, beberapa detik kemudian, ia menggeleng pelan.
“Sama sekali tidak ada, masih sama seperti dua minggu yang lalu saat ia mulai seperti itu. Itu sebabnya ahjumma menyuruhmu kemari. Karena ahjumma sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Yong Sang sama sekali tidak mau menceritakan masalahnya padaku, bicara saja tdak. Itu sebabnya ahjumma menyuruhmu kemari, karena ahjumma fikir, satu-satunya orang yang bisa mengajaknya bicara itu hanya kau, Ji Yeon-ah,”
“Ne ahjumma, aku akan berusaha mengajak Yong Sang untuk bicara. Dan mianhae karena aku baru bisa kemari sekarang,”
“Gwaenchana, Ji Yeon-ah. Justru ahjumma yang seharusnya meminta maaf karena telah merepotkanmu,”
“Ah, itu tidak masalah, ahjumma. Tidak perlu sungkan, bukankah aku sudah menganggap ahjumma sebagai eomma ku sendiri. Begitupun sebaliknya,” ucap Ji Yeon seraya tersenyum.
Park Ji Yeon, memang sudah sangat mengenal baik keluarga Yong Sang. Selain ia merupakan sahabat Yong Sang, ia juga memiliki sifat dan kebiasaan yang tidak jauh berbeda dengan Yong Sang. Itu sebabnya, Han Ji Ri –eomma Yong Sang. Sudah menganggap Ji Yeon sebagai putrinya sendiri, begitupun sebaliknya. Ji Yeon tinggal seorang diri di Seoul, hanya di temani dengan pembantu yang sudah tua saja. Orang tua nya berada di Jepang, mereka sibuk mengurus perusahaan disana. Nyaris tidak pernah pulang ke Seoul hanya untuk sekedar menjenguk putri mereka. Mereka hanya sesekali menghubungi Ji Yeon melalui ponsel, itu pun sangat jarang. Ji Yeon bisa saja pindah ke Jepang untuk tinggal bersama orang tuanya, tapi ia sama sekali tidak mau. Ia lebih memilih tinggal seorang diri di Negara kelahirannya ini, Korea selatan.
“Lalu, bagaimana keadaannya sekarang?”
“Seperti yang kuceritakan padamu, Ji Yeon-ah. Semenjak dua minggu yang lalu, saat ia mulai seperti itu. Yong Sang hanya menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di kamar, entah apa yang di lakukannya disana. Ia hanya akan terduduk di lantai sambil termenung. Menatap ke arah jendela yang gordennya selalu ia tutup dengan tatapan kosong. Untuk makan dan mandi pun sangat sulit, entah kapan terakhir kali aku melihatnya makan. Keadaannya sangat menyedihkan, Ji Yeon-ah. Dan itu membuatku sedih, begitu pun Yong Ra. Bahkan Yong Ra ikut menangis saat melihat kakak satu-satunya itu menangis histeris,” jelas Ji Ri yang membuat Ji Yeon terdiam. Ji Yeon berfikir dengan keras, apa benar keadaan Yong Sang seburuk itu?.
“Apa seburuk itu keadaannya saat ini, ahjumma?” tanya Ji Yeon mencoba menyuarakan fikirannya. Ji Ri menggelengkan kepalanya pelan, membuat Ji Yeon mengernyit tidak mengerti.
“Bahkan lebih buruk dari pada itu, Ji Yeon-ah,” ucap Ji Ri yang membuat kerutan di kening Ji Yeon semakin banyak.
“Terkadang, ia juga menangis dalam diam, tanpa suara. Dan terkadang, ia tertawa sendiri dan menjerit histeris. Keadaannya hampir sama seperti tiga tahun yang lalu, persis seperti ini. Hanya saja, sekarang aku tidak tahu, apa yang menyebabkannya kembali menjadi seperti itu,”
“Maksud ahjumma? Jadi, Yong Sang pernah mengalami keadaan yang sama dengan yang sekarang ini?” tanya Ji Yeon cepat. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang tengah Ji Ri bicarakan. Karena Ji Yeon baru mengenal Yong Sang saat mereka sama-sama bekerja di tempat yang sama, tepatnya saat mereka baru lulus dari Sma. Itu sebabnya, Ji Yeon tidak tahu menahu tentang masa lalu Ji Yeon dan bagaimana persisnya. Karena Yong Sang pun tidak pernah menceritakannya.
Ji Ri mengangguk. “Mungkin kau tidak tahu, Ji Yeon-ah. Bahwa dulu, Yong Sang pernah mengalami hal yang serupa dengan sekarang, bahkan lebih buruk. Ia seperti orang gila, keadaannya sungguh tidak terkendali. Tapi untung saja, dengan melakukan pengobatan yang menghabiskan waktu cukup lama, akhirnya Yong Sang sembuh. Bahkan dokter yang mengobati Yong Sang mengatakan, jika Yong Sang sudah sembuh total. Jadi tidak mungkin jika keadaannya yang sekarang ini di sebabkan oleh penyakitnya dulu yang tiba-tiba kambuh,”
“Tapi itu bisa saja, ahjumma. Bisa saja analisa dokter itu salah. Tapi, mengenai keadaan Yong Sang dulu, memangnya apa yang menyebabkannya seperti itu? Bisa saja keadaannya yang sekarang ini di sebabkan oleh hal yang sama dengan yang terjadi dulu,”
“Mianhae, Ji Yeon-ah. Aku tidak bisa menceritakannya. Lagipula, terlalu rumit untuk diceritakan. Dan kau juga pasti sulit untuk memahaminya,” ucap Ji Ri yang membuat Ji Yeon mengangguk mengerti.
“Gwaenchana, ahjumma. Lagipula, urusan itu pasti sudah tidak penting lagi, bukan? Yang memang harus kita fikirkan sekarang ini adalah, bagaimana caranya membuat Yong Sang kembali seperti semula,”
“Kau benar, Ji Yeon-ah,”
“Baiklah, sebaiknya aku segera menemui Yong Sang. Semoga saja ia mau menceritakan semua masalahnya padaku dan bisa membuatnya lebih baik,”
“Ne, mari. Biar ahjumma mengantarmu ke kamarnya,”
Ji Yeon dan Ji Ri pun segera berjalan menaiki tangga. Menuju kamar Yong Sang yang berada di lantai dua rumah itu. Tak lama kemudian, mereka pun sampai tepat di depan kamar Yong Sang. Ji Ri segera pergi dan meninggalkan Ji Yeon seorang diri. Ji Yeon tidak langsung masuk ke kamar Yong Sang, melainkan berdiri mematung menatap pintu kamar itu. Mata Ji Yeon menatap pintu ber cat biru itu dengan seksama, seraya memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi setelah ia memasuki kamar itu.
Dengan ragu, tangan Ji Yeon pun mulai terangkat untuk meraih kenop pintu. Perlahan, ia memutar kenop itu hingga membuat pintu terbuka. Ji Yeon pun segera masuk ke kamar Yong Sang, meloloskan dirinya dari pintu kayu itu dan menutupnya rapat.
Mata Ji Yeon menari-nari dengan lincah, menyapu bersih kamar itu dengan pandangannya. Dan sekarang, ia benar-benar tahu, ternyata semua yang eomma Yong Sang katakan itu memang benar adanya. Kamar Yong Sang yang Ji Yeon ketahui adalah kamar berskala luas yang minimalis dan juga rapi, walaupun Yong Sang sangat ceroboh dan selalu seenaknya sendiri, tapi ia cukup baik dalam hal merapikan kamarnya. Ji Yeon sangat tahu, Yong Sang akan merasa sangat tenang jika kamarnya dalam keadaan rapi. Dan jika ada seseorang yang mengacak-ngacak kamarnya atau sekedar membuat novel-novel yang tertata rapi menjadi sedikit tidak teratur, Yong Sang akan marah dan memarahi seseorang tersebut hingga orang itu merapikan dan mengembalikan semuanya pada posisi awal dimana barang itu terdapat.
Tapi sekarang? Ji Yeon hanya mampu menggelengkan kepalanya. Semua yang ada dalam pandangannya benar-benar jauh dari itu semua. Kamar rapi itu kini sudah lenyap entah kemana, tergantikan dengan kamar yang terlihat seperti kandang ayam. Semua barang-barang di kamar itu tidak berada di tempat yang seharusnya, melainkan berserakan di lantai putih tak berdosa itu. Bahkan novel-novel yang Ji Yeon ketahui sebagai novel-novel kesayangan Yong Sang, kini tampak terkulai tak berdaya di sekeliling rak buku kecil itu, berharap akan ada seseorang yang menolong dan mengembalikan mereka pada tempatnya semula.
Tiba-tiba, ekor mata Ji Yeon menangkap sesuatu yang sedari tadi ia cari, sesuatu yang melengkapi keburukan kamar itu. Seorang gadis tampak sedang terduduk di atas lantai di samping tempat tidur. Gadis itu menundukan kepalanya, menyembunyikan wajahnya di antara sela-sela lutut yang ia lipat. Tangannya memeluk erat kaki nya yang terlipat itu, rambut panjang nya terurai berantakan, membuat kepalanya benar-benar tidak terlihat. Sangat melengkapi keburukan kamar itu, dan mungkin bisa saja lebih buruk dari itu. Gadis menyedihkan itu bisa saja di sangka sebagai hantu penunggu kamar yang keadaannya memang sangatlah menyeramkan.
Ji Yeon menyipitkan matanya, menatap gadis itu dengan seksama, menelisik setiap inci bagian tubuh gadis itu. Sesungguhnya Ji Yeon sangat ragu. Apakah benar, jika gadis yang tampak sangat menyedihkan itu adalah Han Yong Sang? Sahabat yang begitu ia kenal dengan sangat baik.
Perlahan, Ji Yeon mulai melangkahkan kakinya, mendekati gadis itu yang sepertinya belum menyadari bahwa ada orang lain selain dirinya di kamar ini. Ji Yeon mendudukan tubuhnya di depan gadis itu, membuat posisi mereka sejajar. Ji Yeon terdiam di tempatnya kini, ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia harus melakukan sesuatu tentunya, sesuatu yang sangat baik untuk mengawali pembicaraan dengan gadis yang tampak sangat tertekan ini. Tapi apa? Ji Yeon tidak mungkin bertanya apakah Yong Sang sudah makan atau mandi, itu terlalu bodoh untuk di tanyakan. Ji Yeon mengerutkan keningnya, tampak tengah berfikir dengan keras. Lalu, ia kembali mengingat tujuan sebenarnya ia datang kemari, dan tujuan itu pasti tidak akan pernah terwujud jika ia hanya terus berfikir seperti ini.
“Yong Sang-ah,” ucap Ji Yeon pada akhirnya. Ia tidak peduli jika setelah ini Yong Sang akan memakinya habis-habisan atau memukulnya dengan keras karena telah mengganggu aktivitas Yong Sang yang sepertinya sangat Yong Sang nikmati itu. Yang Ji Yeon fikirkan hanyalah ia harus segera mengembalikan Yong Sang pada keadaannya semula, membuat sahabatnya itu kembali tersenyum seperti biasa. Tidak seperti ini, sangat menyedihkan dan mengganggu mata siapa saja yang melihat keadaannya itu.
“Yong Sang-ah,” ucap Ji Yeon lagi dengan suara yang benar-benar lembut. Sepertinya memanggil seseorang yang tengah menikmati keadaannya itu tidak akan cukup hanya dengan sekali saja. Tapi ternyata, setelah dua kali pun tetap tidak berhasil. Yong Sang sama sekali tidak bergeming dan tetap pada posisinya semula, tidak ada ucapan, sahutan, atau mungkin gerakan-gerakan kecil yang berarti. Membuatnya lebih tampak seperti manusia purba yang telah di siram oleh air pembeku yang membuatnya menjadi seperti itu, diam dan tidak bergerak sedikitpun.
Ji Yeon mengangkat tangannya ke udara dan menjatuhkannya tepat di tangan Yong Sang yang tengah terkepal kuat karena memeluk kedua kakinya yang terlipat itu. Tangan Ji Yeon menyentuh tangan Yong Sang dengan lembut, menggenggamnya dengan pelan.
“Yong Sang-ah, ini aku. Park Ji Yeon, sahabatmu,” ucap Ji Yeon sambil menggenggam tangan Yong Sang yang terasa sangat dingin.
“Kau tidak sendiri, Yong Sang-ah. Aku disini, maaf karena aku baru bisa kemari sekarang. Tapi aku berjanji, setelah ini aku akan selalu menemanimu,” ucap Ji Yeon sendirian. Tampak belum menyerah walaupun Yong Sang tidak berucap sedikitpun, ia akan terus bicara sampai lawan bicaranya itu mau berbicara dan menjawab semua perkataannya.
“Kau mendengarkanku, bukan? Tapi kenapa kau sama sekali tidak mau bicara, Yong Sang-ah?” tanya Ji Yeon lagi. Ia tidak peduli jika akan ada orang yang melihatnya dan menganggapnya gila karena berbicara sendirian tanpa ada balasan sedikitpun dari lawan bicaranya. Ia lebih tampak seperti tengah bicara pada sebongkah batu besar yang bisa mengabulkan berbagai permohonan.
“Aku sahabatmu, Park Ji Yeon. Dan aku akan selalu siap menemanimu dan mendengarkan semua ceritamu. Maka dari itu, bicaralah, Yong Sang-ah. Kau bisa mempercayaiku, bukan?” tanya Ji Yeon seakan tiada henti. Tidak peduli dengan seberapa kuat pertahanan Yong Sang, karena Ji Yeon tahu, cepat atau lambat Yong Sang akan segera bicara. Bukankah sekuat apapun batu, ia tetap akan terkikis dan lama kelamaan akan retak jika terus di tetesi dengan air? Begitu pun Yong Sang. Cepat atau lambat, ia pasti akan bicara. Dan sepertinya, keyakinan Ji Yeon itu terbukti adanya.
Yong Sang bergeming, kepalanya terangkat dan membuat wajahnya terlihat oleh Ji Yeon. Wajah itu, wajah yang Ji Yeon kenal sebagai wajah yang selalu menebarkan senyum dan banyak ekspresi konyol. Kini sama sekali tidak terlihat, wajah itu tampak menyedihkan. Dengan mata sembab yang menunjukan betapa seringnya ia mengeluarkan air mata, bahkan sisa-sisa air mata itu masih terlihat jelas di pipi mulus Yong Sang. Dan, sama sekali tidak ada ekspresi di wajah itu, hanya… datar.
“Ji Yeon-ah,,,” ucap Yong Sang serak. Sepertinya pertahanannya telah runtuh sekarang. Bibirnya bergetar, tampak menahan air mata yang akan segera tumpah ruah jika ia tidak menahannya. Ji Yeon terpaku pada sosok Yong Sang yang tengah berada di hadapannya, benar-benar sangat jauh berbeda dengan yang biasa ia lihat. Tapi beberapa detik kemudian, Ji Yeon sudah bisa membiasakan diri dan tersenyum lembut.
“iya, ini aku. Ji Yeon, sahabatmu. Bagaimana kabarmu, Yong Sang-ah?” ucap Ji Yeon pelan. Mencoba mengawali pembicaraan dengan sahabatnya itu. Tapi Yong Sang tidak menjawab, ia malah menangis dalam diam. Tanpa suara, hanya air mata yang terlihat. Tiba-tiba, Yong Sang memeluk Ji Yeon erat. Seakan-akan melampiaskan segala yang di rasakannya dan agar Ji Yeon turut merasakan apa yang kini Yong Sang rasakan.
Ji Yeon membalas pelukan Yong Sang. Menepuk-nepuk punggung yang bergetar itu dengan pelan. Senyum tipis terlihat jelas di bibir Ji Yeon. Ia tahu, sahabatnya itu tengah berada dalam kesulitan dan tidak tahu pada siapa ia bisa berbagi. Dan disinilah Ji Yeon berada, Yong Sang pasti akan sangat membutuhkannya.
“Bicaralah, Yong Sang-ah. Aku akan mendengarkan dengan baik,”
***
YOU ARE READING
Way Back Into Love (KyuHyun Fanfiction)
FanficTakdir yang membawaku pada cintamu...