BAB 2 Kue Kacang Madu

829 29 0
                                    

Kicauan burung berhembus ke setiap sudut ruangan, sinar matahari berebut masuk melalui celah - celah sempit, udara segar perlahan terhirup oleh hidung mungilnya. Mata yang semula terpejam mulai memaksa kelopak untuk segera mekar, perlahan ia terduduk dan mulai berjalan keluar dari biliknya. Kehidupannya baru saja dimulai, seorang gadis kecil dengan balutan kebaya sederhana. Paras ayunya membuat siapa saja betah untuk berlama - lama memandangnya.

"Kakak, apa yang sedang kakak kerjakan ?" Tanya Aruna kecil dengan rasa penasaran.

"Kakak sedang membersihkan siter, karena kakak akan mengikuti ujian seleksi untuk menjadi musisi di istana." Jelas sang kakak memandang wajah Aruna dengan tatapan hangat.

"Apa Aruna bisa ikut dengan kakak untuk bisa tinggal di istana ? Aruna ingin sekali bisa tinggal di istana." Tanya Aruna dengan penuh harapan kepada kakaknya agar diperbolehkan tinggal di istana.

"Tentu boleh, tetapi kamu harus berjuang melebihi usaha yang dilakukan kakak ya Aruna." Tegas sang kakak sambil mengelus rambut lurus hitam legam milik Aruna yang digelung.

Mereka berdua berbicara hingga suara derap para prajurit istana membungkam mereka. Karena penasaran mereka segera keluar dari halaman tempat mereka bercengkrama dan menuju pintu keluar Keluarga Wisaka. Aruna menghampiri papan pengumuman tempat prajurit istana menempelkan kertas pengumuman. Ia mulai membaca pengumuman itu, walaupun usianya masih 8 tahun Aruna mampu membacanya dengan fasih, berbeda dengan anak - anak seusianya, Aruna adalah satu - satunya anak perempuan dari Kasta Candala yang mampu membaca.

Pendidikan pada kasta rendahan sangat jarang didapatkan bahkan tidak diharuskan. Aruna sendiri mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya Wisaka Hastungkara yang seorang pengurus mayat, ia mulai diperkenalkan membaca lewat buku - buku medis dan tata cara mengurus mayat milik ayahnya.

Sebagai Kaum Wadon kepiawaiannya dalam mengurus setiap pekerjaan rumah tangga juga sangat dipertimbangkan, karena dalam adat jawa selain perempuan harus cerdas, juga harus terampil. Untuk itu Aruna langsung berguru kepada Sang Ibu Huntara Janggala. Selain bermain bersama teman - temannya, keseharian Aruna juga harus terus mengembangkan ilmu dan keterampilannya.

Setelah membaca pengumuman resmi dari kerajaan, bahwa akan diadakan perlombaan kecil untuk memperingati hari kelahiran salah satu putera dari keluarga bangsawan Provinsi Pajang, Aruna langsung bersiap untuk menghadiri acara perlombaan itu. Ia berlari menuju rumah teman - temannya, karena perlombaan yang diadakan sejenis mengoper dan satu tim dibutuhkan tiga orang. Ia berlari ke arah hutan tempat temannya Airani tinggal, sambil berlari ia berpikir bahwa Airani pasti sangat senang dengan kabar yang dibawanya ini. Sampailah ia di rumah Airani.

"Tuan, apa Airani ada di dalam ?" Tanya Aruna denga napas tersengal - sengal kepada ayah Airani.

"Dia ada di dalam sedang menjaga adiknya, ada apa kau mencari Airani ?" Balas ayah Airani dengan tatapan galak.

Nyali Aruna seketika ciut oleh tatapan ayah Airani, ia berpikir lomba akan diadakan dalam hitungan jam ke depan dan ia harus mempercepat pencarian anggota untuk lombanya.

"Tuan, saya mohon untuk memperbolehkan Airani mengikuti lomba. Jika lomba itu menang kita akan dapat keuntungannya, tolong tuan, aku mohon padamu untuk memanggilkan Airani." Pinta Aruna dengan bersungguh - sungguh, memohon dengan kedua tangan di rapatkan di depan wajahnya dan berlutut.

Dengan tatapan penuh dengan kemurkaan ayah Airani tanpa sepatah katapun mengisyaratkan kepada Aruna bahwa ia harus segera pergi meninggalkan rumah Keluarga Jundana. Aruna putus asa dengan apa yang ia lakukan, ia hanya berusaha bersabar dan menarik napasnya dalam - dalam pergi menjauh meninggalkan kediaman Keluarga Jundana dan bergegas ke rumah temannya yang lain. Selanjutnya ia berlari dengan tenaganya yang masih tersisa ke rumah Keluarga Menggala untuk meminta temannya Menggala Kawidagda untuk mengikuti perlombaan, betapa beruntungnya Aruna ketika sampai di kawasan rumah Keluarga Menggala ia melihat Kawidagda sedang duduk termenung sambil menatap cerahnya langit di hari itu.

Wisaka Aruna Kalandra (Fiksi Majapahit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang