Zero #3

56 7 0
                                    

Setelah memberikan sebungkus permen kopi pada gadis yang ramai sendiri di depannya, Zero memutuskan untuk keluar mencari angin.

"Ciye-ciye…" Dia pura-pura budek saat satu teman gadis itu menyoraki perbuatannya. Please deh, dia bukan maling. Apalagi maling hati si gadis. Terlalu mustahil. Sangat. So sweet? Lewat. Dikira pedofil, iya.

Tapi, apa iya dia bukan maling?

Nyatanya tragedi tidak bisa diprediksi tuh, sama seperti cinta. Maksudnya, kebodohan dibalik kedok cinta.

Seminggu setelah hari itu, Zero minum bir kaleng sepulang dari Perpusda pukul empat sore. Alasannya? Hanya ingin. Boker aja tidak butuh alasan, kenapa minum bir harus?

Dia berjalan setengah sempoyongan, kepalanya pusing dan tubuhnya menolak tegak saat berjalan. Seolah tulang belakangnya berubah jadi lemak jahat yang obesitas.

“Paman, awas!!” teriakan seorang gadis masuk ke gendang telinga Zero saat kesadarannya masih 40%. Di lupa sedang berdiri diam seperti orang tolol di garis tengah jalan raya utama. Terkesiap, Zero menoleh mencari sumber suara. Dia heran, kenapa gadis itu berteriak? Apa dia sedang berteriak padanya, atau latihan paduan suara untuk olimpiade nasional?

Gadis itu tampak berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. Gadis yang sama yang dia temui di Perpusda. Ya, gadis yang membuat Zero terpaksa harus merelakan sebungkus permen kopi favoritnya jatuh ke tangan orang lain. Tapi mata mabuknya memanipulasi realita. Zero merasa telah menemukan malaikatnya dalam tubuh gadis bercup B itu.

Dasar Zero goblok sejak sperma Bapak dan sel telur Ibunya belum bertemu. Bukannya lari dari ancaman sepeda motor yang ugal-ugalan 10 meter dari arah kiri, dia malah meraih lensa yang tergantung di lehernya ke arah Koharu. Otak mabuknya sedang error.

Dia ingin mengabadikan sosok gadis itu dalam 'matanya'. Mata kamera.

Satu detik, klik!

Ada yang menarik tubuhnya ke samping, tapi terlambat. Sepeda motor itu menyenggol tubuhnya ditambah tubuh satu orang lagi, membuat keduanya terpental jatuh. Smackdown. Hanya itu kata yang muncul dalam benak Zero demi mendiskripsikan keadaannya saat itu.

Gadis itu terengah, mengerang kesakitan di atas aspal. Dia terjatuh dengan posisi telungkup. Zero terpental kira-kira satu meter di sampingnya, sedang menahan rasa nyeri di pipinya yang tergores. Wajahnya menyapu bersih debu di atas aspal. Sial. Kepalanya terbentur trotoar. Zero melirik gadis penolongnya itu sekilas, lalu menengok sekitar. Para pejalan kaki mulai mendekat, terlihat pula seorang polisi lari tergopoh-gopoh ke arahnya.

Hidup Zero terancam. Dia buru-buru menarik kameranya yang retak. Sebagai manusia normal tentu saja dia ketakutan. Hukuman bui beberapa bulan dengan tuduhan membahayakan keselamatan orang lain telah siap menantinya. Mencari cela sepi, Zero menyiapkan ancang-ancang, dengan sangat menyesal dia harus lari. Ya, memaksa kakinya yang gemetar ke seberang jalan, dimana taksi akan membawanya pulang.

Besok, janji Zero, dia harus meminta maaf pada gadis itu bagaimanapun caranya! Dia akan mengganti seluruh biaya pengobatan gadis itu. Pasti.

Diantara teriakan marah para relawan penolong gadis itu, taksi Zero melaju kencang menuju apartemennya.

###

Jangan lupa vote dan comment :v

SUNGLASSESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang