Zero. Zero. Zero. Atau dengan kata lain Nol, Nol, Nol.
Zero adalah anak gembala yang merantau ke kota berbekal uang saku orangtua, tapi kemudian (untungnya) bisa sukses menjadi fotografer freelance yang kebetulan jarang mandi. Yak, dia memang perpaduan sempurna dari sisi positif dan negatif seorang manusia.
Saat ini, usianya hampir mencapai kepala dua ditambah ekor lima. Dua puluh lima. Naasnya, dia jomblo. Lebih tepatnya, jomblo sejak lahir.
Setiap kali ditanya ‘kapan menikah’ oleh Ibunya, Zero selalu menjawab dengan kalimat yang sama. “Aku menunggu malaikatku datang.”
Terkadang ketika mood Ibunya sedang buruk, beliau akan asal nyelutuk tanpa rasa berdosa. “Malaikat maut maksudmu?” Satu kalimat yang langsung membuat Zero mati kutu.
Ngomong-ngomong, kenapa juga Zero masih jomblo padahal penampilannya normal-normal saja? Maksudnya, dia masih berkepala satu dengan rambut hitam menawan, tangannya tetap dua--di kiri dan kanan tubuhnya, perutnya datar selayaknya manusia bumi, dan kakinya jenjang sempurna. Tuh kan. Zero masih lebih baik daripada kingkong.
Atau memang para gadis abad 21 lebih suka kingkong dibandingkan Zero? Wah, hipotesis ini patut diselidiki lebih lanjut.
“Jangan lupa mengisi daftar hadir, Mas.” Seorang Pustakawan Perpusda menyerahkan bolpoin ke tangan Zero.
Zero masih tidak bergeming di tempatnya. Sejujurnya, dia ingin kentut tapi takut suara ledakannya akan terdengar kemana-mana.
“Mas?” Keramahan Pustakawan perempuan itu turun satu strip.
“Ah, IYA!” Bersama kata ‘IYA’ yang sengaja dia keraskan, kentut Zero pun lolos dari peredaran. Aman jaya, batinnya senang. Dia pun menulis identitasnya dalam buku besar khusus untuk pengunjung.
Zero menyukai perpustakaan seperti dia menyukai hari Jum’at—hari gajian. Baginya, perpustakaan adalah tempat paling strategis untuk tidur, ngupil, garuk pantat, dan benahin celana dalam tanpa menarik perhatian umum.
Eits, jangan salah. Dia juga ke perpustakaan untuk membaca kok; membaca komik, majalah Bobo, atau majalah Gadis. Sebodo amatlah dengan pandangan orang lain, yang penting kan dia membaca. Salah, lebih tepatnya dia sedang melihat gambar makhluk hasil imaginasi manusia atau beberapa gadis cantik mahakarya Tuhan yang sedap dipandang.
Huh, dasar ngenes.
“Sendirian, Mas?” Mendengar pertanyaan basa-basi Si Pustakawan, Zero hanya membalasnya dengan senyuman. Padahal diam-diam hatinya berubah jadi bara api. Dia heran, kenapa pertanyaan paling menohok itu harus diucapkan saat mood-nya sedang bagus? Yaelah ‘njir, bikin tambah ngenes aja, batinnya kesal.
“Iya, Mbak.” Balasnya, dengan senyuman yang makin aneh. 11-12 dengan kingkong yang mergokin pacarnya nikah sama kingkong lain.
Begitu selesai mengisi daftar hadir, dia buru-buru berjalan ke rak komik. Setelah vakum hampir seminggu karena tuntutan pekerjaan, akhirnya surga Zero datang juga!
###
Jangan lupa vote dan comment :v

KAMU SEDANG MEMBACA
SUNGLASSES
AléatoireZero, fotografer freelance yang berpikir hidupnya cukup datar sampai ia bertemu dengan seorang malaikat pencabut nyawa. Ops, malaikat penolong maksudnya. Malaikat tanpa sayap yang menyebut dirinya 'Koharu'. Seorang perempuan bercup B, (mungkin?) ya...