☄°•°○
Acha bangun dari tidurnya, tatkala sinar ingin menembus masuk ke iris matanya. Sudah pagi. Rasa-rasanya Acha baru saja tidur.
Netra dan wirasa Acha langsung bekerja. Kepalanya menoleh ke sebelah kiri, mendapati Doyoung yang masih tidur dengan posisi tangan kanan yang ia jadikan bantal. Acha ingat, tengah malam ia menangis setelah bertemu Jinan dan bunda yang sudah pulang duluan. Tidak lama Doyoung datang dan sibuk menenangkannya.
Acha merutuki dirinya, kenapa harus pakai acara tidak bisa tidur? Padahal menutup mata saja nanti juga akan tidur sendiri.
Acha bergerak memindahkan tangan kiri Doyoung yang masih ada di atas kepalanya secara perlahan. Namun sayang, Doyoung bangun karena terusik.
"Oh. Udah bangun..." cicit Doyoung. Acha menatapnya canggung. Berbagi kasur yang sama padahal baru kenal. Apa kata keluarganya jika tau Acha begini?
Doyoung pun duduk sejenak dan turun dari kasur. Ia hanya pindah di kursi.
"Jam 8 gue pulang dulu. Gak apa-apa, kan?" tanya Doyoung. Acha mengangguk kikuk. Tanpa ditanya pun Acha perbolehkan, sebab apa gunanya melarang Doyoung?
Acha hanya sebatas orang baru kenal.
Doyoung bangkit dari kursi yang ia duduki tepat setelah melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Acha hanya memperhatikan gerak-geriknya.
"Gue balik. Udah hampir jam 8. Nanti gue ke sini lagi," pamit Doyoung. Acha mengangguk.
Laki-laki itu berjalan keluar dari kamar inap Acha. Di ambang pintu Doyoung sempat senyum kecil padanya. Acha hanya membalasnya dengan senyum kikuk. Ia masih malu meski Doyoung tidak melakukan apapun padanya.
°•°○•°•○
Pukul sebelas ke atas, Acha masih betah tiduran di atas kasur. Matahari sangat terik dan cahayanya masuk lewat jendela. Hangat. Kulitnya menghangat.
"Permisi. Nona Acha?"
Acha mengalihkan pandangannya pada seseorang di pintu masuk. Seorang dokter dan beberapa perawat. Sepertinya tengah berkeliling mengecek kondisi pasiennya. Acha lantas mengangguk pelan. Dokter itu masuk dan mengecek kondisi serta cairan infusnya.
"Semalam mimpi buruk?" tanya dokter itu. Acha menggeleng. Namun sedetik kemudian ia mengangguk, membuat sang dokter terkekeh melihat tingkahnya.
"Sus, bisa keluar dulu? Atau kalau mau keliling aja duluan. Saya masih ada perlu di sini," ucap sang dokter. Perawat-perawat yang tadi datang bersamanya pun satu persatu keluar dari kamar inap Acha, hendak berkeliling kembali tanpa dampingan si dokter.
Tersisa Acha dan Pak Dokter.
"Sebelumnya, saya dokter syaraf di sini. Panggil saja saya Pak Kim atau dokter Kim, sesuka hati kamu."
Acha mengangguk sambil memberi senyum terbaiknya.
"Saya mau cerita dulu sedikit. Kamu mau dengar?" tanya dokter Kim. Acha mengangguk. "Malam itu anak saya datang ke rumah sakit. Dia lari-lari, panik. Saya sempat lihat dia menggendong orang di punggungnya. Inisiatif saya susul dia dan saya tanyai orang ini siapa."
"Anak saya bilang, gak tau, Pa. Ketemu di ladang dekat perempatan jalan, keadaannya sekarat. Waktu itu saya masih ingat jelas dia panik waktu datang ke sini. Dia sampai mohon-mohon ke saya untuk ngobati orang yang dia bawa susah payah sendirian ke sini."
"Maaf, orang itu saya, Dok?" tanya Acha. Dokter Kim mengangguk. "Jadi... dokter ini... ayahnya Doyoung?" tanya Acha lagi dan dibalas anggukan oleh Dokter Kim.
Acha mendadak merasa tidak enak hati, telah merepotkan Doyoung dan ayahnya. "Maaf, sudah merepotkan Doyoung. Padahal saya gak kenal dia, malah merepotkan begini. Maaf.." ucap Acha.
Dokter Kim terkekeh, "Nggak apa-apa. Saya justru makasih sama kamu."
Acha mengernyit, menatapnya bingung.
"Berkat kamu, saya bisa ngomong sama anak saya setelah sibuk yang gak selesai-selesai," ucap dokter Kim, "Berkat kamu juga saya bisa sering lihat Doyoung mampir di sini walau nggak main ke ruangan saya."
"Ah iya..." Dokter Kim menggaruk pelipisnya, "Waktu saya lihat kamu, keadaan kamu penuh luka lebam. Boleh saya tanya penyebabnya?"
Acha hanya diam. Dia tidak bisa cerita sekarang. Yang dapat Acha lakukan hanya menggeleng tanpa suara. Mengingat kejadian itu saja membuat Acha ketakutan, bagaimana ia bisa cerita?
Dokter Kim yang melihat gelengan dari Acha hanya mengangguk pelan. Bapak itu pikir, Acha pasti sudah mengalami hal berat.
"Ya sudah. Saya... pamit permisi. Istirahat ya, Cha?" pamit Dokter Kim. Acha mengangguk, menatap punggung bapak paruh baya itu yang keluar dari kamar inapnya.
Acha kembali sendirian. Ia makin merapatkan duduknya. Lututnya ia tekuk dan kakinya ia peluk. Netra Acha mengarah kembali ke jendela kamarnya, menatap hiruk pikuk kota dan gedung bertingkat dengan cahaya matahari yang enggan hilang.
Kalau boleh, Acha tidak ingin pulang.
☄°•°○
KAMU SEDANG MEMBACA
[5] ᴘᴀɪɴ ʀᴇʟɪᴇᴠᴇʀ • ᴋɪᴍ ᴅᴏʏᴏᴜɴɢ ✔
Fanfickim doyoung selalu ada buat jadi pereda rasa sakit di hati acha. °•°○•°•○ ㅡ25/04/2019 ~ 15/05/2019.