Awal

13.7K 1.2K 144
                                    

Biarkan hati yang berbicara. Jangan paksakan lidah untuk membohongi hati.

Keluar dari ruang sidang dengan berhasil adalah harapan dan doanya selama beberapa pekan ini. Dirinya yang bukan tipe orang banyak bicara memang sedikit kesusahan untuk dapat berbicara di depan umum.

Terlahir menjadi introvert memang bukanlah pilihannya. Namun entah bagaimana dirinya lebih nyaman seperti ini. Sedikit bicara agar tidak mudah menyakiti orang lain.

Karena terkadang lidah yang tidak bertulang sering kali sulit terkontrol.

"Alhamdulillah, putra kesayangan bunda lulus. Selamat sayang, selamat berproses menjadi lebih baik. Bunda selalu mendukungmu."

Perempuan paruh baya dengan hijab Syar'i adalah orang pertama yang menyambutnya. Di susul sang ayah yang terlihat rapi pagi ini. Padahal dia sudah berulang kali memproklamirkan ingin menjalani pensiun dini, namun sayang tidak ada satupun dari anak-anaknya yang bersedia melanjutkan bisnis perusahaannya.

"Ayah bangga sama kamu."

Beberapa orang di sekitarnya memang tidak ada yang menyangka Rafif akan sesukses ini dalam bidang pendidikan. Banyak yang beranggapan dia akan gagal dalam sidang karena mau tidak mau dirinya harus berbicara di depan umum. Dan itulah kekurangan yang dia harus hadapi.

Hingga akhirnya dirinya mampu membuktikan. Bila kekurangan bukanlah alasan untuk tidak dapat berkembang.

"Azmir Ar Rafif Abdul Hamid, yo ... yo  ... gimana, Bro? Bisa juga kan lo ngomong panjang lebar di depan umum. Masa gitu aja grogi. Gimana ijab kabul nanti?"

Kakak laki-laki yang menurutnya sangat menyebalkan turut mengucapkan selamat. Diikuti dengan kakaknya yang lain.

Sebagai anak terakhir, Rafif memang banyak mendapatkan perhatian dari orang sekitarnya. Namun sayangnya entah mengapa Rafif justru malas diperhatikan seperti itu. Karena perhatian itu malah semakin membuat dirinya tertutup.

"Mana nih calon? Enggak ada yang kasih bunga gitu? Kan baru lulus," sindir Shaka, kakak laki-laki Rafif.

"Yang, ngomong apaan sih? Kamu enggak sadar diri, dulu juga kamu pas lulus enggak ada yang kasih bunga," bisik Rara, istri dari Shaka.

Mendengar balasan tersebut, Rafif tidak ingin menambahkan komentar pedas itu. Apa yang dikatakan kakak iparnya memang benar. Sindiran yang orang lain berikan kepadanya terkadang malah menjadi bomerang untuk diri orang itu sendiri.

Contohnya seperti sindiran tadi.

"Sudah, kan? Kalau gitu ayo kita langsung foto bareng. Katanya, Bitha sama Barra dan Abi, nunggu di studio foto."

"Kenapa dia enggak ke sini dulu deh? Aneh sama tuh anak berdua. Adeknya lagi merayakan proses kelulusan, masih aja mereka sibuk berdua dengan kerjaannya. Gaji enggak seberapa aja sampai lupa sama keluarga. Apalagi gaji bisa bikin istana, mungkin mereka enggak akan kenal keluarga."

"SHAKA!!" bentak sang ayah tidak suka.

Tapi dalam hati Rafif menyetujui apa yang Shaka katakan. Kadang dunia membuat orang lupa akan ikatan darah. Sehingga keluarga jauh lebih penting dari pada harta.

Dan itulah yang Rafif takutkan. Saat ayahnya ingin dia melanjutkan tongkat estafet bisnis mesin di Jerman, Rafif sama sekali tidak ingin.

Karena kekayaan pasti akan membuatnya lupa akan dunia. Terlebih menyeramkannya jika sampai lupa tentang akhirat kelak.

"Ayo jalan, jangan dengarin abangmu, Shaka."

Bahu Rafif dirangkul oleh ayahnya untuk berjalan menuju mobil mereka. Hari ini memang moment spesial, dan ayahnya sudah menyiapkan semuanya. Setidaknya harus ada kenangan yang mereka ciptakan. Agar kelak bisa diceritakan pada anak cucu nantinya.

"Bang Rafif...." Suara perempuan yang memanggil nama Rafif menghentikan langkah kaki laki-laki itu. Tubuhnya berbalik dan melihat wajah mungil dengan tubuh kurus berdiri tidak jauh dari tempatnya.

Semua orang di sekitar Rafif seketika diam. Memerhatikan interaksi perempuan berani itu yang tiba-tiba saja mendekat, memberikan selembar kertas yang familiar baginya.

"Selamat ya, Bang."

Hanya ucapan singkat, lalu dia terburu-buru pergi karena malu. Hingga tanpa sadar Rafif meremas kertas tersebut di tangannya.

"Eh, siapa tuh?" tanya si reseh kakak laki-lakinya.

Rafif berdeham sejenak. Dia berbalik arah, ingin melangkahkan lagi menuju mobil. Namun sayang, tangan si jahil lebih cepat dari dugaannya.

Kertas tersebut sudah berpindah kepada Shaka. Kemudian dia menjauh dari Rafif untuk membaca isinya.

"Bang Shaka!!!"

"Bentar-bentar gue baca dulu," serunya dengan kening berkerut.

Akan tetapi setelah dia baca, Shaka masih tetap tidak mengerti isi dari tulisan dalam kertas itu.

"Kok aneh amat ya."

"Kembaliin!!" Rafif mengambilnya kembali, lalu sambil menahan malu dia masuk lebih dulu ke dalam mobil hingga membuat bingung seluruh keluarganya.

"Bang, emang apaan isinya?" tanya kakak perempuan Rafif, Naya.

"Apa ya tadi. Satu sisi sih tentang hadits ekonomi Islam gitu."

"Terus sisi lainnya?" tanya Rara yang ikut penasaran atas kalimat suaminya.

"Satu sisi lagi.... "

"Yah, cepat. Jadi foto enggak!!!"

Rafif berteriak dari dalam mobil, memaksa ayah dan bundanya untuk segera pergi dari tempat ini.

"Udah deh, Bang. Jangan digangguin mulu adeknya," seru bunda yang berusaha untuk menghentikan keributan ini.

Tidak bisa membantah, semuanya akhirnya melupakan keanehan itu. Padahal siapa yang bisa menebak jika dari sebuah kertas bisa menimbulkan kisah baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Kini aku paham tentang hadits ekonomi ini. Sekarang ijinkan aku belajar hadits tentang hatimu.

Continuee..
Mantuuullllll.. Hahahaha

Btw.. Kisah ini tuh sebelum after 15 years marriage yaa..
Jadi kisah Barra sama Bitha tuh belum kebongkar.. Oke.. Jadi pura2 gak tau aja.. Whakakaka

Dan di sini Abi masih kecil sekitar 7 tahunan yee

Dan di sini Abi masih kecil sekitar 7 tahunan yee

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Imam Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang