Bab 5

4.6K 745 154
                                    

Saat ini masalah kita hanya satu, aku sayang kamu. Tapi kamunya enggak ... enggak sayang atau enggak tahu itu beda tipis!

"Woy, Rafif."

Lian berseru memanggil Rafif yang dia lihat tengah berjalan cukup cepat menuju arah parkiran kampus. Suaranya yang cukup lantang sama sekali tidak didengar oleh Rafif. Karena sahabatnya itu langsung masuk ke dalam mobilnya, dan cukup cepat pergi dengan mobilnya itu.

"Kenapa tuh orang?" gumam Lian bingung. Padahal yang Lian tahu, Rafif datang ke kampus untuk bertemu dengannya. Menyerahkan beberapa catatan penting yang memang sengaja dia pinjam untuk semester akhirnya ini.

Namun siapa yang menyangka Rafif malah pergi meninggalkannya tanpa informasi sedikitpun.

Mencoba mencari tahu atas pertanyaan dipikirannya, Lian menghubungi Rafif. Meneleponnya beberapa kali hingga akhirnya nomor tersebut tidak bisa dihubungi kembali.

Karena merasa ada yang aneh, Lian mulai menanyakan kepada beberapa mahasiswa lain yang kemungkinan besar bertemu dengan Rafif tadi. Namun info yang dia dapat, ada sekitar 2 sampai 3 mahasiswa yang mengatakan jika sebelum pergi Rafif terlihat berbicara serius dengan Zee.

"Zee," gumam Lian saat menanggapi cerita beberapa teman mahasiswanya.

"Iya adek lo. Mereka ada hubungan ya? Kok dekat banget."

"Yang gue tahu sih enggak ada hubungan apa-apa," jawab Lian merasa tidak yakin.

"Ya mudah-mudah sih enggak ada hubungan apa-apa antara adik lo sama Rafif. Karena dari gosip yang gue dengar, keluarga besar Rafif lagi jadi gosip di majalah ekonomi Indonesia. Gue takutnya.... "

"Gue kenal siapa Zee. Dia adik gue. Dan gue paham maksud dari kalimat lo, tapi insha Allah adik gue bukan tipe perempuan yang suka memanfaatkan situasi."

"Setidaknya lo jangan sampai enggak tahu masalah ini. Karena kasihan adik lo, yang dinilai buruk pasti dia, bukan Rafif atau keluarganya."

"Kenapa Zee yang dinilai buruk?" tanya Lian memastikan.

"Karena latar belakang keluarga kalian beda, Yan."

"Begitukah? Tapi menurut gue, Zee jauh lebih berharga dari seluruh harta yang keluarga Rafif miliki. Jadi gue harap jangan bandingkan adik gue dengan barang-barang mewah. Dia manusia bukan barang."

Tidak bermaksud memperkeruh masalah, Lian mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyuman tulus. Dalam hatinya terus mendoakan hal baik untuk orang-orang yang sukanya membandingkan adiknya dengan harta.

***

Kembali ke rumah dengan segala perasaan yang tidak menentu, Rafif langsung saja menenggelamkan tubuhnya dalam ranjang empuk miliknya. Pikirannya terus memutar kembali, ekspresi Zee saat memakinya tadi.

Wajah Zee yang biasanya selalu tampil menggemaskan di depan dirinya, hari ini berubah menjadi murka. Kata demi kata kekesalan yang tadi Zee ucapkan kepadanya tidak pernah berhenti untuk terulang. Membuat hati dan pikiran Rafif menjadi kacau tidak karuan.

Bahkan sebelum-sebelumnya Rafif tidak pernah sekacau ini hanya karena mendengar kemarahan orang lain. Namun kenapa hanya karena seorang Zee, dia menjadi tak terkenali seperti sekarang.

Ekspresi datar dan tidak peduli yang selalu dia tampilan langsung lenyap tak tersisa. Karena kini hanya ekspresi khawatir yang ada di wajahnya. Khawatir bagaimana kondisi perempuan itu kini.

Sungguh kurang ajar sekali mulutnya ini, bisa-bisanya menuduh Zee tanpa bukti. Memangnya kenapa jika gadis itu melihat koran yang dipajang bebas dalam mading kampus. Rasanya tidak ada salahnya Zee membacanya, atau mengetahui seperti apa keluarganya.

Imam Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang