Bab 12

4.2K 828 233
                                    

Sekarang hatiku boleh saja patah, mataku boleh saja basah, namun percayalah aku tidak mungkin akan menyerah. Jika semua itu berhubungan denganmu, imam pilihan hati.

Zee mendadak menjadi diam saat kembali di rumah. Suaranya yang biasa selalu ribut dan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi keponakan laki-lakinya, Taya, kini semuanya lenyap.

Walau tubuh Zee tetap ada di sekitar keluarganya, namun pikirannya melayang pergi entah ke mana. Bahkan ditegur ibunya pun, Zee tetap diam saja. Memasukkan beberapa makanan buka puasa tanpa terlalu banyak mengunyahnya.

"Zee," panggil ibunya lagi.

Dia tersentak saat Sarah mengusap lengannya, memberikan kode kalau ibu memanggilnya.

"Ah, iya, Bu."

"Kamu enggak kenapa-napa kan di warung tadi? Ibu takutnya kamu sakit. Dari pulang tadi cuma diam saja."

"Enggak sakit kok, Bu."

Zee menjawab singkat sembari membalas tatapan khawatir dari ibu dan kakak iparnya. Sejenak pandangannya lama berhenti, melihat wujud kakak iparnya kini.

Dulu Sarah tidak seperti ini. Dulu Sarah terlalu sibuk dengan urusan dunia, dan kekasih yang tidak halalnya itu. Namun berkat Lian berani menikahi perempuan itu, lambat laun Sarah berubah. Dia bukan lagi pengagung kehidupan dunia. Karena sekarang waktu Sarah hanya untuk Tuhan dan keluarga kecilnya.

Mungkin seperti itulah yang Zee harapkan kini. Ada laki-laki yang menikahinya, menuntunnya menjadi lebih baik seperti yang Lian lakukan kepada istrinya. Namun apa masih ada laki-laki seperti itu?

Kini semua laki-laki pun mengharapkan hal yang lebih. Mereka akan menikahi perempuan yang jauh lebih baik agamanya, pendidikannya, dan karirnya. Sehingga mereka tidak perlu repot-repot mengajarkan istrinya kembali.

"Bang Lian belum balik ya, Bu?"

"Belum. Katanya abis magrib baru pulang, benar kan, Sar?"

"Iya Bu, katanya warung yang dia kunjungi lagi dipenuhi dengan keluarga besar yang sedang berbuka puasa bersama. Dan Lian katanya akan membantu di sana."

"Tumben kamu tanyain abangmu?" lirik ibunya sembari bertanya.

"Ada tugas yang mau Zee tanyain sama dia."

"Tugas?" ulang ibu dan Sarah kompak. Bukannya sebelumnya Zee tidak mau diajari oleh Lian karena Lian juga belum lulus kuliah, sama seperti dia. Lalu kenapa sekarang ini berubah pikiran?

"Kemarin kamu sendiri kan yang enggak mau tanya sama dia. Kok sekarang berubah pikiran?" selidik ibunya lagi.

"Iya. Karena tugas kali ini bang Lian sudah lebih khatam dari pada Rafif."

"Loh, tugas apaan itu?" Sarah ikut bertanya karena penasaran dengan jawaban Zee.

"Tugas dalam menuntun istrinya menjadi lebih baik."

"Astagfirullah al'adzim, Zee. Kuliah dulu kamu yang benar, jangan sampai biaya yang udah ayahmu keluarkan sia-sia. Hanya karena ingin terburu-buru menikah."

"Bu... kalau dulu Ibu percaya sama bang Lian. Kenapa sama Zee enggak percaya? Insha Allah Zee bisa selesaikan kuliah walau udah nikah."

Ibu dan Sarah kompak menggelengkan kepala. Mereka tidak begitu yakin Zee mampu. Karena Zee adalah tipe perempuan yang akan menggebu-gebu untuk berjuang, namun setelah mendapatkannya, dia akan lupa dasar perjuangannya itu apa.

***

"Semalam Bang Lian pulang jam berapa? Sampai Zee enggak tahu Abang pulang," tanya Zee saat mereka sedang mengendari motor yang sama menuju kampus.

Imam Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang