Bab 6

4.4K 736 207
                                    

Entah dari mana alasan datangnya kelelahan ini. Apakah dari kedua kaki yang terus mengejarmu? Atau dengan hati ini yang penuh harap kepadamu. Yang kutakutkan adalah keduanya, kaki dan hati sama-sama tertuju kepadamu.

Jika kemarin pertemuan Zee dan Rafif berakhir hancur berantakan karena tuduhan Rafif yang memang sangat keterlaluan. Sekarang ini Rafif sengaja menemui Zee. Ingin menyampaikan keinginan bundanya untuk bertemu.

Namun sebelum Rafif mengajak Zee bertemu bundanya, ia akan lebih dulu mewanti-wanti Zee untuk menjaga sikapnya. Setidaknya menjadi perempuan normal di depan bundanya memang sangat dia haruskan.

Padahal apa hubungannya dengan segala bentuk sikap Zee? Toh kalau perempuan muda itu mengeluarkan segala hal kehancurannya, tidak berpengaruh pula terhadap Rafif. Memangnya Zee kekasih hatinya Rafif?

"Zee...." Panggilan dari Rafif menghentikan langkah Zee keluar dari kelas menuju kantin kampus.

Kedatangan tamu bulannan di saat awal-awal puasa memang menyebalkan. Jadwal menstruasinya yang selalu maju 1 minggu setiap bulannya memang akan menghalanginya menikmati sholat ied bersama keluarganya.

Karena dalam keluarga Zee, bagi perempuan yang tidak sholat ied diwajibkan mempersiapkan menu sarapan ketupat untuk keluarga yang baru pulang sholat, dan itulah hal termalasnya. Padahal ia hanya diharuskan memotong ketupat dalam wadah, lalu memanaskan sayur yang akan dimakan bersama-sama.

Akan tetapi karena rasa malas Zee lebih besar dari berat badannya, membuatnya panik sejak saat ini jika mengingat hal yang akan dia lakukan nanti.

"Iya," jawab Zee kaget melihat siapa yang datang menghampirinya.

Beberapa mahasiswa yang melihat kejadian ini mulai kembali membentuk komunitas untuk menggosipkan yang terjadi. Efek majalah ekonomi kemarin yang menampilkan keluarga besar Rafif mulai dibicarakan kembali.

Apakah Rafif akan menjadi penerus dari perusahaan sang ayah? Dan apakah Zee, perempuan muda itu yang akan menjadi pendampingnya.

"Gue mau ngomong sesuatu."

"Sekarang?" tanya Zee bingung. Bukannya baru kemarin ini mereka ribut karena sebuah majalah yang tidak penting.

"Iya sekarang."

"Duh, maaf nih ya, Bang Rafif. Bukannya gue jual mahal, tapi boleh makan dulu enggak. Perut gue laper nih. Belum sahur dari semalem," ringis Zee sembari mengusap-usap perutnya.

"Makan?"

"Iya. Emang enggak boleh perempuan makan di bulan puasa?"

"Akh, boleh kok," jawab Rafif tergagap.

"Kalau lo mau temanin sih enggak papa. Bisa sekalian ngobrol di sana. Ya tapi kalau iman lo kuat, Bang. Soalnya gue tuh kalau makan pasti buat orang ngiler gitu. Belum aja sutradara kontrak gue untuk bintang iklan makanan. Kalau gue udah dikontrak, lo enggak akan bisa makan bareng gue."

"Iman gue enggak sedangkal itu."

"Bagus dong. Yuk ke kantin. Pengen makan bakso nih, pakai sambel yang banyak. Terus minumnya es teh manis. Ughh, pasti seger banget."

Tidak mengeluarkan suara dalam menanggapi sikap berlebihan Zee, Rafif berjalan lebih dulu menuju kantin kampus mereka.

Langkah kaki Rafif yang terlalu besar membuat Zee kesusahan untuk menyeimbanginya. Hingga akhirnya Zee tiba di kantin setelah Rafif mendapatkan tempat duduk di antara beberapa mahasiswi dan mahasiswa yang tidak menjalankan ibadah puasa.

"Mau ngomong apaan sih?" tanya Zee yang menghampiri posisi di mana Rafif duduk.

"Duduk."

"Iya. Nanti gue duduk. Mau pesen es teh dulu."

Imam Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang