Bab 2

7.1K 880 147
                                    

Rasa penasaranlah yang membawa takdirku selalu beredar di sekitarmu. Hingga tidak bisa kutahan, rasa ini terus berkembang menuju kamu, si pemilik perasaan.

"Ghanniyah Aazeen!!!" suara keras dari seorang kakak laki-laki berhasil menyentakkan Zee dari mimpi indahnya.

Gadis bernama Ghanniyah Aazeen atau yang biasa dipanggil Zee ini memang paling malas melakukan apapun disaat liburan tiba. Jangankan untuk membantu ibunya, atau membantu kakaknya yang memiliki warung makan, Zee memilih untuk tetap di kamar. Menuntaskan tidurnya yang baru dia lakukan satu jam.

Maklum saja, Zee memang sering melakukan kegiataan malamnya yang tidak berfaedah itu, ketika dia bisa pastikan jika keesokan harinya adalah hari libur.

Walau sering kali dimarahi oleh kedua orangtuanya, termasuk kakak laki-lakinya, Zee seakan tidak peduli. Baginya inilah kebahagiaan yang bisa dia lakukan tanpa meminta kepada orang lain. Apalagi kini rumahnya telah difasilitasi oleh internet yang bisa dia pakai kapan saja, sehingga Zee tidak ingin menyia-nyiakan segala kebahagiaan ini.

"Zee!!!" Lian, kakak laki-laki Zee langsung masuk begitu saja ke dalam kamar adiknya yang penuh dengan poster, serta benda-benda ajaib lainnya, yang menunjukkan jika Zee adalah makhluk dunia perkpopan.

Dilihatnya Zee masih nyaman memeluk guling, dengan bagian bawah daster beruang yang dipakai sudah tersibak ke atas. Memperlihatkan kulit punggung Zee yang begitu mulus. Ya, walau bisa Lian pastikan adiknya itu jarang mandi disaat hari libur seperti ini namun tidak bisa Lian pungkiri kulit adiknya cukup mulus untuk ukuran tipe perempuan malas.

"Bangun. Ikut abang beli alat vakum sekarang." Lian memerintah dan ingin dipatuhi oleh Zee.

Tapi sayangnya tanggapan Zee hanya mendesah kesal. Kepalanya masih pusing karena kurang tidur, bisa-bisanya Lian memerintah seenaknya.

"Besok aja, Bang. Zee ngantuk banget."

"Besok kamu kuliah, Zee."

"Abang juga kuliah kan besok. Ya udah pulang kuliah aja kita belinya!!" balas Zee setengah berteriak.

Lian menggeleng tidak percaya melihat tingkah adiknya yang baru berusia hampir 20 tahun itu. Jika dia membandingkan dengan dirinya dulu, sangat berbeda jauh.

Pada usia 20 seperti Zee, dirinya sudah berani meminang anak perempuan orang lain yang usianya lebih tua darinya. Sedangkan Zee? Merawat dirinya sendiri saja masih Lian pertanyakan. Apalagi untuk merawat laki-laki yang kelak menjadi imamnya.

"Zee...." Panggilan Lian mulai melemah. Sepertinya dia akan kalah lagi kali ini. Zee sama sekali tidak bergerak dari posisinya.

"Hmm, dasar males. Ya udah abang minta temeni Rafif aja. Dia ada di rumah enggak ya,"

Melirik penuh arti ke arah Zee, pelan-pelan tubuh Zee bergerak. Bangun, membalas lirikan penuh arti dari Lian dengan senyum memikat.

"Zee ikut ya, Bang."

"Ya udah cepat mandi," sahut Lian geli.

Bukannya dia tidak tahu apa yang dirasakan adiknya itu kepada sahabat karibnya, Rafif. Namun rasanya Lian masih tidak rela melepaskan adiknya menikah.

Maksudnya tidak rela, ia kasihan Rafif kalau mendapatkan pasangan hidup seperti Zee.

Lian... Lian... Dia memang laki-laki yang mengerti perasaan dan nasib sahabatnya sendiri.

***

Berpakaian rapi bukanlah gaya Zee sama sekali. Dia yang biasanya tampil cuek dengan pakaian yang dirasanya nyaman, kali ini ia seperti tampil berbeda. Hanya karena Zee tahu ia akan ketemu siapa hari ini.

Imam Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang