"Berbahagialah menjadi seorang tulang punggung keluarga. Kamu adalah orang istimewa yang diberikan kesempatan untuk membahagiakan keluargamu."
(Adrian Hendrawan)"Ehm ... ehm. Kebetulan nih," ucap Kenzo sembari merentangkan kedua tangannya, menahan langkah teman-temannya tepat di depan kelas XI IPA-2. Kelas paling pojok jika berjalan dari arah UKS.
"Maksud lo?" tanya Eza dengan gaya bicaranya yang khas. Wajahnya selalu datar.
Kenzo mengangkat kening. "Arah jam tiga!" Pandangannya ke arah pagar tembok yang berdiri kokoh di belakang sekolah. Tampak jelas dari tempat mereka berdiri.
"Ooooh ...." Rian, Eza, dan Vano serentak mengangguk paham.
Mereka pun beraksi. Melewati beberapa kelas dengan badan terbungkuk. Kadang tiarap, kadang berjalan cepat. Sudah mahir dengan aksi seperti ini.
"Kenzo start one!" ucap Rian setelah mereka sampai di depan tembok belakang sekolah dengan selamat.
Kenzo mengangguk paham. Mengambil posisi. Lutut kirinya ia tekuk di tanah dengan kaki kanan sebagai tumpuan. Kedua telapak tangannya di dinding. Ketika momen seperti inilah Kenzo diandalkan. Sebab tubuhnya yang paling kekar di antara mereka.
Rian membuka sepatunya dan naik di bahu Kenzo lalu memanjat dan melompati pagar. Setelah itu, hal yang sama dilakukan Vano, dan yang terakhir Eza. Adapun Kenzo, dia bisa melakukan hal itu sendiri meski tanpa tumpuan. Tinggi badannya melewati tinggi maksimal teman-teman seumurannya.
Motor mereka diparkir di Indomaret dekat sekolah. Senin, Rabu, Kamis, adalah jadwal pelajaran Pak Mamat. Bersamaan dengan itu mereka sengaja memarkir kendaraan roda duanya di luar lingkungan sekolah. "Biar gampang kaburnya saat kami kalah melawan pasukan negara api." Itu jawaban Rian jika ditanya siswa lain perihal mengapa kalau Senin, Rabu, dan Kamis masuk gerbang dengan berjalan kaki tanpa motor.
Eza start lebih dulu. Si merahnya melejit di atas aspal. Disusul Kenzo, Rian, dan Vano. Seperti biasa, mereka menuju rumah Eza, si anak tunggal pengusaha batu bara.
***
Januari, 2013
"Rian ... Rian!" teriak seseorang dari arah belakang.
Rian dan dua temannya sedang nongkrong di samping gudang belakang sekolah. Vano dengan bukunya. Adapun Eza berbaring di atas meja panjang yang sudah sedikit lapuk. Kenzo entah ke mana.
"Ada apa?" tanya Rian setelah sosok menor itu muncul di hadapannya.
"Gue Salsha, anak XI IPS-2. Selamat ya atas kejuaraannya kemaren." Dia tersenyum sejenak. "Di ajang lomba cipta puisi," sambungnya.
"Oh iya, thanks. Tau dari mana?" Rian tidak merubah posisi duduknya.
"Gue liat di koran pagi tadi. Di situ tertulis nama lo, Adrian Hendrawan."
"Oh, gitu ya."
"Gue balik ke kelas, ya," ucap Salsha.
Namun, sebelum pergi tangan mungil itu lebih dulu menyerahkan sebuah bingkisan. Persis sama dengan yang diberikan Dewi waktu itu. Setelah diterima, Salsha pun balik badan dan berjalan melewati lorong-lorong yang dilewatinya tadi.
"Ehm ... banyak amat penggemar lo, Yan." Dengan suara agak berat, Eza berkicau dari pembaringannya.
"Eh, itu teman Dewi, 'kan?" tanya Vano.
Dahi Rian mengkerut dengan bahu sedikit terangkat. Jejak kaki Salsha belum juga hilang. Terdengar setelahnya langkah kaki yang sahut-menyahut.
"Parah, Bro ... parah!" Kenzo mengatur napas. Seperti tengah dikejar-kejar hantu se-kabupaten.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMPUT SMA (TERBIT)
Fiksi RemajaDiterbitkan oleh Penerbit LovRinz (Pemesanan di Shopee Penerbit.LovRinzOfficial) *** Rian, Eza, Kenzo dan Vano adalah empat sahabat dengan karakter berbeda yang dipertemukan di SMA Mandiri Bangsa. Rian yang puitis jatuh cinta kepada seorang siswi ba...