PROLOG

9.6K 1.1K 137
                                    

"Bungkuslah semua cerita dari tempat kalian berpijak sekarang! Nanti kita buka dan nikmati bersama pada acara reuni kali ini."
(Wakasek SMA Mandiri Bangsa)

Manhattan, 22 Desember 2019

Pemuda dengan rambut gondrong dikucir itu tengah duduk menatap kaca jendela restoran yang berembun. Dari jendela tersebut tampak butiran-butiran air membeku turun dari langit dan menghiasi permukaan bentala. Ya, di luar memang sedang turun salju, mengingat New York seminggu yang lalu sudah memasuki awal musim dingin.

Tampak dari tempat ia duduk orang-orang lalu-lalang di jalanan dengan jaket-jaket tebal. Hawa dingin yang menembus tulang ini tidak menjadi alasan mereka untuk menghentikan aktivitas. Karena itu wajar saja, jika New York dilabeli kota yang tidak pernah tidur.

Ini musim dinginnya yang ke enam di kota ini. Setelah puas melihat-lihat ke luar, ia seruput lagi secangkir cokelat panas di atas meja bertaplak biru tua di hadapannya sembari merapatkan jaket yang dikenakan, sebab dingin mulai menembus kulitnya. Entah sudah berapa kali ia buka handphone untuk membaca ulang pengumuman dari grup WhatsApp alumni SMA Mandiri Bangsa angkatan 2014.

"Kayaknya ini momen yang pas buat gue balik ke Indonesia." Pemuda itu terus menimbang-nimbang.

Kerinduan kepada keluarga di tanah air sudah begitu menyiksanya beberapa bulan terakhir. Ditambah lagi, sang Ibunda yang terlalu sering mempertanyakan kapan ia dikenalkan dengan calon menantu. Benar-benar menambah beban pikirannya.

Tak berselang lama, ponselnya kembali berdering. Sebuah panggilan masuk dari teman lamanya. Sahabat masa putih abu-abu. Ponsel itu menampilkan panggilan telepon dari satu kontak bernama 'Kenzo.' Tersenyum saat melihat nama yang tertera di sana. Ah, ia begitu merindukan sahabatnya yang jauh di mata itu.

Dengan semangat, digulirnya tombol warna hijau yang terdapat di ponsel, tak lama setelahnya suara yang sangat ia kenal menyambutnya. [Halo!] seru suara suara di seberang sana.

"Halo, Bro!" balas Rian tak kalah riang. Senyum terus terpatri di bibirnya.

[Apa kabar? Baik-baik aja 'kan lo?] Suara itu kembali menyambutnya tulus.

"Iya lah, sehat gue. Lo sendiri gimana?" tanya Rian, kembali dirapatkannya jaket yang dikenakan sebab hawa dingin semakin menusuk kulit.

[Baik juga. Lo udah baca pesan di grup alumni  belum?]

"Udah. Kenapa emang?"

[Lo datang, 'kan?] Suara Kenzo terdengar ragu-ragu.

"Datang lah! Lo inget 'kan janji kita dulu, kalau kita bakalan reunian bareng dan kumpul-kumpul lagi kayak dulu?"

[Syukur deh, gue kira lo nggak bakal datang.]

"Tenang aja, gue pasti dateng. Eza juga datang, 'kan?" tanya Rian lagi.

[Iya kayaknya, gue belum nanya ke Eza. Habis ini gue tanya.]

"Oke!"

[Eh, dia juga datang, loh!] tukas Kenzo dengan nada menggoda.

"Hmmm." Rian sudan paham maksud dari ucapan tersebut, ia hanya tersenyum tipis sembari membayangkan wajah orang itu.

[Halah, sok-sokan cuek lo!] celetuk Kenzo.

"Yee, bodo amat!" ujar Rian lagi sedikit kesal.

[Ya udah, gue tutup ya teleponnya.]

"Ok—" Belum selesai Rian menjawab, panggilan itu sudah terputus. Dihelanya napas dengan kesal. "Untung sahabat," pikirnya.

Lelaki itu sudah sangat merindukan para sahabatnya. Mengingat mereka yang jarang berkomunikasi setelah lulus dari masa putih abu-abu, sebab fokus untuk mengejar cita-cita masing-masing. Tanpa disadari, reuni ini adalah salah satu jalan yang diberikan semesta agar salah satu dari mereka bisa bersatu dengan separuh jiwanya.

Nama seorang gadis tiba-tiba dengan lancang terlintas di pikirannya. Gadis cantik yang selalu membuat jantung lelaki itu berdegup kencang. Gadis yang selalu bisa membuat pipinya memerah. Gadis yang mampu membuat kupu-kupu di perutnya beterbangan. Memunculkan euforia yang meletup-letup. Tak terhingga sampai seperti memenuhi rongga dadanya.

"Apa dia udah menemukan tambatan hatinya sekarang? Apa masih ada celah buat gue yang penuh kekurangan ini untuk memasuki hatinya?" batin Rian bersuara.

Kemudian, ia mengambil sticky notes yang selalu dibawanya ke mana-mana. Kembali menuliskan bait-bait syair untuk menenangkan hati. Lelaki itu berencana ingin menuangkan apa yang ia rasakan ke dalam tulisan, agar dapat meringankan sedikit beban pikiran yang sedari tadi berputar-putar di kepalanya. Sebuah pena hitam pun mulai bergerak lincah di atas kertas.

RINDU YANG AKAN SEMBUH

Rindu ini sudah lama melekat layaknya nadi

Menyiksa denyut jantung tanpa permisi

Berusaha mengusir rindu yang menghujam hati

Meski di luar hujan terus mengalir

Mencoba menjelaskan belenggu rindu

Meraba dirimu meski hanya semu

Sebentar lagi, sebentar lagi rindu ini akan sembuh

Adrian Hendrawan

Setelah selesai menulis, Rian meletakkan kembali penanya. Lelaki itu sudah sedikit lega. Sembari menatap tulisannya ia tersenyum.

"Arghh, gue kangen banget sama lo!" batinnya berteriak frustasi.

Ia merindukan semua yang ada pada gadis itu. Senyumnya. Tawanya. Apalagi mata bulat kecokelatan yang bak menawarkan kehangatan bagi siapa pun yang melihatnya. Rian merindukan itu semua.

Namun, tiba-tiba saja lelaki itu tersenyum tengil. Sebuah ide melintas di otaknya. Ide yang akan mengantarnya ke pelabuhan hati terakhirnya. Ibunya sudah meminta agar ia segera menikah, bukan?

"Sabar ya, Bu. Rian bakal kenalin Ibu dengan bidadari," besit pemuda itu, lantas bangkit dari tempat duduknya.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN TINGGALKAN COMMENT TERBAIK KALIAN YA.
HEHE, SEMOGA KALIAN SUKA.
❤❤❤
YOK LANGSUNG LANJUT KE PART BERIKITNYA.

RUMPUT SMA (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang