Kebenaran

18 4 1
                                    

"CHIO!!!" teriak gadis kecil itu murka, ia berlari menghampiri seorang bocah lelaki yang sedang bersimpuh dijalanan dengan darah yang mengalir dari hidungnya. Sedangkan yang disebut Chio itu menunjukkan ekspresi bersalahnya.

"Tama, kenapa idungnya ngeluarin darah? Chaca takut darah," ujar gadis kecil itu panik, air mata sudah mengenang dipelupuk matanya. Sedangkan bocah lelaki yang dipanggil Tama itu hanya terdiam lemah.

Gadis bernama Chaca itu bangkit lalu menatap Chio sinis.

"Chio jahat... Kenapa Chio bikin Tama berdarah," teriaknya. Chio sudah hampir menangis.

"Chi...chio gak ngapa-ngapain Tama," jawabnya terbata-bata.

"Bohong!!! Chio bohong,,, tadi Chaca liat sendiri Chio dorong Tama, CHACA BENCI SAMA CHIO!" teriaknya histeris. Kedua matanya sudah mengeluarkan air mata. Begitu pula dengan Chio.

Bocah lelaki itu sudah menangis karena melihat sahabatnya menangis. Sungguh ia sama sekali tak tahu jika mendorong Tama segitu saja sudah membuatnya mimisan. Ia merasa bersalah, apalagi saat melihat sorot kebencian dimata Chaca, sungguh ia tak tahan.

Elio terbangun dari tidurnya dengan nafas terengah-engah. Lagi-lagi mimpi itu, mimpi yang sudah seminggu ini menghantui tidurnya. Tepatnya, seminggu setelah acara kemah disekolahnya berakhir.

Mimpi itu kembali sukses mengingatkan Elio dengan kenangan lama yang sangat ingin ia lupakan. Kenangan yang membuatnya harus kehilangan satu-satunya alasan ia hidup sampai saat ini.

'Drrttt drrrttt'

Ponsel dinakas itu bergetar, menandakan ada seseorang yang menelfonnya. Ia melihat kearah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan malam. Sepertinya tadi sore setelah pulang sekolah ia langsung ketiduran, karena Elio masih menggunakan seragam sekolahnya. Dengan nafas yang masih memburu, Elio menggapai benda itu. Wajahnya berubah masam setelah melihat nama yang tercantum disana.

Berusaha mengabaikan. Elio membiarkan benda itu terus menerus bergetar. Ia kembali meringkukkan tubuhnya dibawah selimut. Namun beberapa menit berlalu telfon itu tak kunjung berhenti, sipenelfon sepertinya sangat berniat mengganggu Elio saat ini.

Elio menghela napas gusar. Dengan seperapat hati ia mengangkat telepon itu.

"Halo" sapa pria diujung sana.

"Apa" balas Elio ketus.

"Pulang kerumah" mendengar petuturan pria itu Elio mendecak sinis. Rumah? Apa ada tempat lain yang bisa ia sebut rumah kecuali apartemennya ini?

"Ck... Rumah? Rumah gue cuma disini, gak ada yang lain!"

"Chio..."

"Jangan panggil gue dengan sebutan itu lagi, udah berapa kali sih gue bilang" sahutnya semakin ketus. Terdengan helaan nafas dari ujung sana.

"Elio, Papi pulang, dan dia pengen anaknya kumpul"

Elio tertawa sumbang.
"Papi? Gak salah lo? Apa gue masih punya seseorang yang anggap gue anak?"

"Elio!!! Tolong jangan pancing emosi gue, pulang sekarang atau gue jemput lo ke apartemen" ucapnya Final lalu mematikan sambungan telepon begitu saja. Beberapa saat Elio terdiam, lalu ia mulai tertawa, bukan tawa bahagia, melainkan tawa miris.

Mau tak mau ia harus datang ketempat yang disebut 'rumah' itu, ia tak ingin meladeni tamu tak diundang jika nanti pria itu benar-benar menjemputnya kesini. Dengan malas Elio mengambil jaketnya lalu bergegas keluar dari apartemen.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 30, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang