Janu; Pilihan

1.7K 209 26
                                    

Kata orang, hidup itu penuh pilihan. Tiap manusia yang lahir di dunia pasti pernah mempunyai beberapa opsi untuk dipilih; mau makan apa hari ini, mau pakai baju apa buat ke kampus, nanti kalo udah besar mau jadi apa, contohnya.

Kalo udah besar mau jadi apa.

Buat yang lagi menjalani kelas dua belas atau bahkan baru lulus SMA, pasti pernah dihadapkan dengan sebuah pilihan untuk masuk ke universitas dan memilih jurusan yang dituju. Kalau lo pernah mengalami fase itu, selamat, lo termasuk orang-orang yang beruntung.

Karena kenyataannya, gue nggak seberuntung lo.

Banyak orang berpikir bahwa seorang lelaki bernama Tanaka Janu Adijaya mempunyai kehidupan yang menjanjikan. Gue pernah nongkrong di warung seberang sekolah bareng temen-temen, dan tiap mereka membahas kuliah, ujung dari percakapannya nggak bakal jauh dari gue.

“Nu, ntar mau ambil jurusan apa?”

“Nggak usah ditanya, dia pasti ngikut bokapnya.”

“Iya juga, Janu kan pinter, anak semata wayangnya dokter spesialis lagi.”

Bahkan, gue nggak pernah dikasih kesempatan buat menjawab.

Omong-omong soal anak, sampai sekarang pun gue masih bingung di mana letak menyenangkannya menjadi anak tunggal. Kalau gue bisa memilih, gue nggak akan mau dilahirkan di keluarga bokap gue. Sendirian, orang tua menjadi protective, dan sudah pasti tanggung jawab di masa depan akan dilimpahkan semuanya ke gue.

Pernah suatu hari ketika lagi rame-ramenya anak kelas dua belas buat mengisi formulir jurusan dan universitas yang akan dituju, bokap nanya ke gue. “Kamu mau masuk universitas mana?”

“Mana aja yang penting ada jurusan yang mau aku ambil.” Jawab gue sekenanya.

“Kalo kedokteran mending di luar kota, Nu.”

Gue, yang waktu itu lagi asyik makan nasi padang, seketika berhenti. “Ke…kedokteran?”

“Iya. Emang kamu mau ambil jurusan apa kalo bukan kedokteran?”

Bener juga. Sejauh ini, gue masih belum menemukan passion gue di bidang apa, yang jelas bukan kedokteran. Entah, gue bener-bener nggak ada ketertarikan di bidang medis mana pun. Gue udah bisa membayangkan betapa keras dan padatnya kalo gue beneran masuk kedokteran. Nggak jauh beda sama bokap, ujung-ujungnya selalu sibuk dan jadi jarang di rumah.

“Aku pengen masuk teknik.” Gue ngasal. Sebenernya gue juga nggak tau bakal kayak gimana hidup gue kalo masuk teknik. Jawaban gue sekonyong-konyong karena melihat beberapa alumni sekolah gue yang kuliah di teknik hidupnya tentram-tentram aja.

Bokap menghela napas berat, yang awalnya menunduk, langsung menatap gue. “Kalo bukan kamu, siapa yang bakal nerusin karir ayah?”

Karir.

Ada apa sih sama karir? Kenapa semua orang selalu mementingkan sebuah karir? Apakah karir akan menentukan patokan hidup dan kebahagiaan seseorang?

Bagi gue, nggak.

Gue diem. Pandangan gue beralih ke nyokap yang sudah pasti daalam hitungan detik akan ikut menasihati secara panjang lebar. Akhirnya, perdebatan malam itu ditutup dengan gue yang menyudahi makan malam dan langsung masuk ke kamar.


Empat semester terlewati.

Ketika sebagian temen angkatan gue pada bilang nggak kerasa, justru bagi gue hal itu makin kerasa. Kerasa berat, capek, dan bosan numpuk jadi satu. Ya, gue akhirnya mau nggak mau harus menuruti bokap untuk masuk kedokteran dari pada gue membantah dan nama gue dicoret dari kartu keluarga. Gue masih terlalu miskin buat hidup sendirian.

SHEET OF SIN; MONSTA XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang